Selamat Datang di Situs Ilmu Perbankan

Apabila anda ingin membagikan ilmu pengetahuan perbankan secara gratis dalam bentuk tulisan dan buku online, dipersilahkan mengisi form pada kolom "Pendaftaran Penulis Ilmuperbankan" untuk dapat mengirimkan tulisan mengenai seputar ilmu perbankan via email dan tentunya akan kami review dahulu tulisan anda untuk kemudian akan kami terbitkan dalam situs ini, ataupun bagi sahabat yang mau kami bagikan buku gratis secara online melalui email dapat mendaftarkan diri dengan cara mengisi nama lengkap dan alamat email anda pada kolom "Gratis Buku Online", dan secara teratur akan kami kirimkan buku online secara gratis kepada para sahabat semua yang telah mendaftarkan nama dan alamatnya, terimakasih

Google Search

Selasa, 23 Maret 2010

PROBLEM PENGEMBANGAN PRODUK DALAM BANK SYARIAH

Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Penyempurnaan Undang-undang
No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan merupakan langkah maju dalam perkembangan
perbankan, terutama bagi perbankan syariah. Dalam undang-undang ini perbankan
syariah diberikan perlakuan yang sama equal treatment dengan perbankan konvensional.
Padahal jika dilihat jumlahnya, ketika undang-undang itu disahkan, baru ada satu bank
syariah –Bank Muamalat- dan sekitar 70 BPR Syariah.

Disahkannya Undang-undang No. 10 Tahun 1998 telah membuka kesempatan
lebih luas bagi bank syariah untuk berkembang. Undang-undang ini bahkan tidak saja
menyebut bank syariah secara berdampingan dengan bank konvensional dalam pasal
demi pasal, tetapi juga menyatakan secara rinci prinsip produk perbankan syariah, seperti Murabahah, Salam, Istisna, Mudharabah, Musyarakah dan Ijarah; padahal dalam Undangundang No. 7 Tahun 1992 tetang Perbankan, nama syariah pun sama sekali tidak disebut.

Meskipun tidak menyebut secara eksplisit, undang-undang No.7 Tahun 1992
tentang Perbankan sebenarnya telah cukup memberikan keleluasaan bagi bank syariah
untuk mengembangkan sendiri produknya, sebab undang-undang itu hanya mengikat
sistem perbankan konvensional. Hal itu dapat dilihat, baik dari sisi teoritis maupun
praktis, perbankan syariah telah mendapat tempat khusus. Sebagai contoh dalam
perpajakan ada ketentuan yang tidak mengenakan pajak jual-beli atas penjualan oleh
sebuah bank syariah, sepanjang penjualan itu merupakan bisnis murni bank syariah,
karena memang prinsip operasinya mengharuskan seperti itu.

Oleh karena itu secara teoritis semestinya produk bank syariah telah berkembang karena Bank Muamalat telah didirikan sejak tahun 1992. Tetapi mengapa hanya Murabahah dan Bai’ Bitsaman Ajil saja yang terus-menerus dipergunakan, seperti tidak ada produk lain yang bisa dikembangkan? Nampaknya karena kritik tersebut, pada tahun 1997 Bank Muamalat melakukan workshop interen untuk mengembangkan sendiri produknya, dan tidak lagi “mengekor” kepada produk-produk Bank Islam Malaysia Berhad. Para narasumber didatangkan dan berbagai sumber digali, baik dalam bidang fiqih, ekonomi, perbankan maupun akuntansi. Semua kemungkinan dijajaki dan diuji, paling tidak dalam tataran teori.

Hasilnya lumayan mengejutkan. Dari lokakarya itu ditemukan bahwa selama ini apa yang
diterapkan dalam produk-produk, baik liabilitas, aset maupun jasa ternyata telah
mengambil jalan yang lumayan berbeda dari produk asli syariah. Manajemen kemudian
bertekad untuk memperbaiki yang ada dan mengembangkan produk-produk syariah yang

selama ini tidak “tersentuh.” Ternyata pengembangan produk syariah ke perbankan tidak
semudah yang diduga. Perdebatan yang tadinya hanya berkisar tentang hal-hal kecil
seperti penentuan harga terhadap nasabah, berkembang menjadi masalah berat seperti
time value of money, economic cycle, posisi harta dalam Islam, peran hakim syariah, dan sebagainya. Selain itu sumber daya manusia juga bukan masalah kecil. Dengan beragam latar belakang pendidikan, pengalaman dan bidang kerja para karyawan, pengembangan produk tidak lagi menjadi tanggungjawab sebuah divisi, tetapi inter-divisi dan bahkan bank secara keseluruhan.

Tulisan ini berusaha mengungkap problematika yang dihadapi dalam mengembangkan produk pada bank Syariah. Sebagian besar bahan tulisan ini dirangkum dari pengalaman pribadi penulis yang pernah bekerja di Bank Muamalat sebagai staf yang membidangi pengembangan produk aset; sedangkan referensi yang dikutip merupakan tambahan yang kebetulan sesuai.

Pendekatan yang berbeda-beda.
Sebelum membahas problematika yang terjadi dalam pengembangan bank
syariah, terlebih dahulu perlu dilihat pendekatan yang mempengaruhi pola
pengembangan produk bank syariah. Pendekatan ini membentuk paradigma yang
akhirnya memberi arah bagi perkembangan produk itu. Ketika pendekatan ini tidak satu
dan berbeda, tetapi memerlukan suatu penetapan keputusan (decision making), maka
yang terjadi adalah tarik menarik kepentingan, seberapapun kecilnya. Misalnya, jika
kemungkinan trade-off itu akan terjadi antara kepentingan nasabah dengan bank, maka
secara intuitif kepentingan bank lebih dahulu dilindungi, mengingat yang membuat
produk ini adalah orang bank itu sendiri.

Antara Akomodatif dan Asimilatif.
Pergumulan pendekatan yang sekarang masih berlanjut adalah antara metode “akomodatif” dengan “asimilatif. Metode akomodatif menekankan caracara pragmatis dalam pengembangan bank syariah. Metode ini berangkat dari asumsi bahwa saat ini tidak ada satupun situasi ideal bagi bank syariah untuk melaksanakan secara murni apa yang terdapat dalam syariah. Karena itu bank syariah adalah bank konvensional yang “disyariahkan” dalam segala operasionalnya, baik produknya maupun transaksinya. Metode ini mengambil dasarnya dari kaidah usul Fiqih: “Segala sesuatu dalam muamalah dibolehkan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.” Akibatnya tidak mengherankan jika
kemudian yang muncul ke permukaan adalah bank syariah yang produknya merupakan fotokopi produk konvensional dengan perubahan sedikit disana-sini.

Seperti biasa karna terlalu panjang dan mendetailnya pokok pembahasan tersebut diatas, maka para sahabat dapat mendownloadnya disini



http://ilmuperbankan.blogspot.com/2010/03/problem-pengembangan-produk-dalam-bank.html

Baca Selengkapnya..

Minggu, 21 Maret 2010

INFORMASI MENGENAI DANAREKSA INDEKS SYARIAH

PEMBENTUKAN DANAREKSA INDEKS SYARIAH

DANAREKSA INDEKS SYARIAH adalah Reksa Dana Indeks berbentuk Kontrak Investasi
Kolektif yang sesuai dengan Syariah Islam sebagaimana termaktub dalam Akta Kontrak
Investasi Kolektif Reksa Dana DANAREKSA INDEKS SYARIAH No. 6 tanggal 8 Maret
2006 yang dibuat di hadapan Ny. Poerbaningsih Adi Warsito, SH., notaris di Jakarta,
antara PT. Danareksa Investment Management sebagai Manajer Investasi dan Standard
Chartered Bank sebagai Bank Kustodian.

PENAWARAN UMUM

PT. Danareksa Investment Management sebagai Manajer Investasi melakukan
Penawaran Umum Unit Penyertaan DANAREKSA INDEKS SYARIAH secara terus
menerus hingga mencapai jumlah 1.000.000.000 (satu miliar) Unit Penyertaan.
Manajer Investasi dapat menambah jumlah Unit Penyertaan DANAREKSA INDEKS
SYARIAH yang ditawarkan setelah memperoleh persetujuan dari BAPEPAM.
Setiap Unit Penyertaan DANAREKSA INDEKS SYARIAH ditawarkan dengan harga sama
dengan Nilai Aktiva Bersih awal yaitu sebesar Rp. 1.000,- (seribu rupiah) setiap Unit
Penyertaan pada hari pertama penawaran. Selanjutnya harga pembelian setiap Unit
Penyertaan DANAREKSA INDEKS SYARIAH ditetapkan berdasarkan Nilai Aktiva Bersih
per Unit Penyertaan yang ditetapkan pada akhir Hari Bursa yang bersangkutan.

JANGKA WAKTU PEMBAYARAN ATAS UNIT PENYERTAAN YANG DIJUAL KEMBALI OLEH PEMODAL

Semua Pemegang Unit Penyertaan DANAREKSA INDEKS SYARIAH wajib memiliki
rekening Bank, baik berupa rekening tabungan atau rekening giro. Pembayaran hasil
penjualan kembali Unit Penyertaan akan dilakukan oleh Bank Kustodian ke dalam
rekening Bank pemegang Unit Penyertaan selambatnya 7 (tujuh) Hari Bursa sejak
adanya permintaan Penjualan Kembali oleh Pemegang Unit Penyertaan.

DEWAN PENGAWAS SYARIAH
Dalam mengelola DANAREKSA INDEKS SYARIAH, Komite Investasi dan Tim Pengelola
Investasi diawasi oleh Dewan Pengawas Syariah DANAREKSA INDEKS SYARIAH. Dewan
Pengawas Syariah DANAREKSA INDEKS SYARIAH bertugas untuk mengawasi
DANAREKSA INDEKS SYARIAH agar tetap berada dalam koridor kesesuaian dengan
Prinsip-prinsip Syariah.

Seperti biasa topik bahasan kali ini cukup panjang dan mendetail, terutama dengan istilah-istilah dan penjelasan yang sangat panjang, karena itu silahkan sahabat download secara gratis dengan meng-klik disini
Baca Selengkapnya..

Sabtu, 20 Maret 2010

Analisis Rasio Keuangan Dalam Mendukung Kelayakan Pembiayaan

Banyak instrumen dan komponen yang dilihat dan diperhatikan oleh suatu bank didalam menentukan kelayakan calon debitur untuk diberikan kredit usahanya oleh bank, salah satu caranya adalah dengan 5 C (Character, Capacity, Capital, Collateral, Condition), yang melihat kelayakan calon debitur dari tingkah laku, tutur sapa, keramahan, kejujuran, kerjasama dan interaksi dengan marketing officer suatu bank, kemudian dari kapasitas kemampuan calon debitur untuk membayar cicilan bulanan dari usaha yang dijalaninya, serta dari besar kecilnya suatu usaha yang nantinya akan kita bahas melalui neraca dan laporan rugi laba suatu usaha, dengan cara menganalisa rasio keuangan yang akan mendukung kelayakan pembiayaan kredit seorang calon debitur.

Laporan rugi laba dan neraca adalah catatan pembukuan ataupun catatan pembelian dan penjualan suatu barang ataupun jasa dari sebuah usaha yang sudah berjalan secara teratur dan dikerjakan setiap bulannya, walaupun calon debitur tidak melakukannya secara administratif seperti suatu perusahaan yang sudah besar dan maju dengan seorang atau beberapa orang karyawan pembukuan administrasi dan akuntansi, namun kita dapat melihat dari faktur, nota, ataupun catatan pembelian dan penjualan daripada sebuah usaha, dan semua usaha yang berjalan pastilah memiliki catatan pembelian dan penjualan walaupun bentuk catatannya hanya berupa tulisan tangan disebuah buku biasa, minimal calon debitur akan memiliki faktur ataupun nota dari pembelian barang-barang yang akan dijualnya.

Analisis itu sendiri memliki beberapa cara dan tehnik yang sudah teruji baik secara akuntansi maupun secara praktek dilapangannya, dalam hal ini digunakan kedua cara tersebut yaitu cara-cara yang telah ditetapkan dalam pedoman akuntansi perbankan indonesia (PAPI), dalam hal ini penulis memberikan gambaran kondisi calon debitur yang secara teratur dan baik dalam menyusun laporan rugi laba dan neraca sebuah usaha, atau sudah dibantu pembuatannya oleh marketing officer sebuah bank yang tentunya lebih menguasai pembuatan laporan keuangan dan neraca secara hukum perbankan dan seperti yang diinginkan oleh bank pemberi pinjaman.

Untuk dapat memahami dan menganalisa dengan baik laporan keuangan dan neraca tersebut tentunya diperlukan keahlian dan pengetahuan khususnya didalam membuat sebuah laporan rugi laba dan neraca tersebut, karna itulah keahlian yang wajib dikuasai sebelum kita membahas lebih lanjut bagaimana cara menganalisa laporan rugi laba dan neeraca calon debitur, sehingga kita mendapatkan gambaran yang lengkap dan komprehensif mengenai keadaan keuangan dan kekayaan calon debitur, sehingga akhirnya kembali lagi kepada kelayakan pengembalian pinjaman calon debitur sendiri, sehingga calon debitur nantinya benar-benar adalah pengusaha terpilih yang wajib kita berikan pinjaman setelah kita melihat secara mendalam.

Penulis melihat suatu tulisan dalam bidang tersebut dan cocok untuk diberikan serta di download oleh para sahabat ilmuperbankan untuk dapat menambah ilmu dan wawasan dibidang perbankan, dan sebagai persiapan dalam menghadapi persaingan yang semakin ketat dan saling bersaing, terutama penulis mengharapkan agar para sahabat dapat menjadi proffessional yang sanggup merakit karir sehingga dapat menuju puncak pimpinan dalam dunia perbankan, dan bagi sahabat yang tidak berkecimpung didunia perbankan semoga sahabat semua dapat mengetahui dunia perbankan secara lebih dalam lagi sehingga dapat berhubungan dengan lebih baik lagi dengan dunia perbankan.

karna panjangnya pokok bahasan tersebut maka penulis mempersilahkan para sahabat untuk mendownloadnya, silahkan klik disini

Baca Selengkapnya..

Jumat, 19 Maret 2010

Evaluasi Metode Penentuan Harga

penentuan harga merupakan salah satu hal yang sangat penting bagi dunia perbankan, baik bank konvensional maupun bank syariah, karna harga seperti layaknya suatu usaha adalah bagaikan darah yang mengalir disetiap tubuh dan sebagai aliran darah yang menghangatkan tubuh dan menyesuaikan dengan keadaan diluar, begitupun dengan harga yang dapat diibaratkan sebagai darah dalam aliran tubuh sebagai penghangat dan penyesuaian dengan keadaan diluar, dan lebih ekstremnya lagi apabila kita katakan apabila salah dalam menentukan harga, maka suatu usaha tidak akan lama hidupnya, bagaikan manusia yang kehilangan darahnya terlalu banyak sehingga akhirnya akan mati lemas.

dan apabila kita kupas lebih detail lagi maka harga tersebut akan menentukan kelangsungan hidup suatu usaha, karna hal itu akan berhubungan langsung dengan biaya operasional serta semua biaya yang wajib dikeluarkan saat usaha tersebut berjalan dan beroperasi sehari-hari hingga menemui saat yang tepat, yaitu dimana usaha tersebut memiliki integritas dan menemui pelanggan yang mempunyai pesanan dan pembelian dalam jumlah yang sangat besar dan teratur, sehingga keuntungan yang didapat dari harga yang tepat menumbuh kembangkan usaha tersebut hingga menjadi kuat dan stabil serta dapat mengembangkan usaha yang berkaitan lainnya dengan usaha yang

pertama, misalnya usaha penjualan beras yang apabila telah berkembang maju dan banyak pelanggannya, maka usaha tersebut perlu mempunyai divisi angkutan kendaraan seperti truck untuk mengangkutnya, dan dapat dikelola sebagai bisnis pengangkutan, apabila telah maju pesat dan membutuhkan tempat yang lebih luas lagi berarti membutuhkan gudang yang sekaligus bisa dipergunakan sebagai gudang yang sebagian tempat kosongnya dapat disewakan dan dikembangkan menjadi divisi pergudangan, dan lain sebagainya.

Begitupun dibidang keuangan dan perbankan, bagi bank konvensional harga tersebut adalah bunga, biaya provisi, administrasi, komisi, biaya kirim, biaya tagih, biaya sewa, biaya iuran dan biaya lainnya, sedangkan harga bagi bank yang berdasarkan prinsip syariah berarti bagi hasil.

Bagi bank yang berdasarkan prinsip konvensional pengertian harga berdasarkan bunga terdiri dari 3 macam yaitu harga beli, harga jual, dan biaya yang dibebankan kepada nasabahnya

Karna panjanganya pokok bahasan mengenai metode penentuan harga ini, silahkan sahabat download secara gratis disini

Baca Selengkapnya..

Kamis, 18 Maret 2010

EKONOMI ISLAM: APLIKASI DAN PENGEMBANGAN KEILMUAN DI PERGURUAN TINGGI AGAMA ISLAM

Islam merupakan agama yang kaaffah, yang mengatur segala perilaku kehidupan manusia. Bukan hanya menyangkut urusan peribadatan saja, urusan sosial dan ekonomi juga diatur dalam Islam. Oleh karenanya setiap orang muslim, Islam merupakan sistem hidup (way of life) yang harus diimplementasikan secara menyeluruh dalam seluruh aspek kehidupannya tanpa kecuali.

Sudah cukup lama umat manusia mencari sistem untuk meningkatkan kesejahteraan khususnya di bidang ekonomi. Selama ini memang sudah ada beberapa sistem, diantaranya dua aliran besar sistem perekonomian yang dikenal di dunia, yaitu sistem ekonomi kapitalisme, dan sistem ekonomi sosialisme. Tetapi sistem-sistem itu tidak ada yang berhasil penuh dalam menawarkan solusi optimal. Konsekuensinya orang-orang mulai berpikir mencari alternatif. Dan alternatif yang oleh banyak kalangan diyakini lebih menjanjikan adalah sistem ekonomi Islam. Karena sistem ini berpijak pada asas keadilan dan kemanusiaan. Oleh karenanya, sistem ini bersifat universal, tanpa melihat batas-batas etnis, ras, geografis, bahkan agama.

Perkembangan ekonomi Islam di Indonesia dalam beberapa tahun terkahir ini, baik pada tataran teoritis-konseptual (sebagai wacana akademik) maupun pada tataran praktis (khususnya di lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan non-bank), sangat pesat. Perkembangan ini tentu saja sangat menggembirakan, karena ini merupakan cerminan dari semakin meningkatnya kesadaran umat Islam dalam menjalankan syariat Islam. Hal ini konsekuensi dari pemahaman bahwa ekonomi Islam bukan hanya sekedar konsepsi. Ia merupakan hasil suatu proses transformasi nilai-nilai Islam yang membentuk kerangka serta perangkat kelembagaan dan pranata ekonomi yang hidup dan berproses dalam kehidupan masyarakat.

Adanya konsep pemikiran dan organisasi-organisasi yang dibentuk atas nama sistem ini sudah tentu bisa dinilai sebagai model dan awal pertumbuhannya. Tapi ia masih membutuhkan model-model banyak lagi, agar membentuk kesatuan yang lebih terpadu serta memiliki daya kemampuan untuk menghasilkan atau darinya dapat ditarik kesimpulan-kesimpulan yang dapat diuji dalam penelitian dan praktek. Kendati perkembangan ekonomi Islam saat ini sangat prospek namun dalam pelaksanaannya masih menemukan berbagai kendala sekaligus tantangan, baik pada tataran teoritis maupun pada tataran praktis, baik yang bersifat internal maupun yang bersifat eksternal.

Pada tataran teoritis misalnya belum terumusnya secara utuh berbagai konsep ekonomi dalam ekonomi Islam. Sedangkan pada tataran praktis belum tersedianya sejumlah institusi dan kelembagaan yang lebih luas dalam pelaksanaan Ekonomi Islam. Adapun dari aspek internal adalah sikap umat Islam sendiri yang belum maksimal dalam menerapkan ekonomi Islam. Sedangkan dari aspek eksternal adalah praktik-praktik kehidupan ekonomi yang sudah terbiasa dengan konsep-konsep ekonomi konvensional.

Kini, ekonomi Islam - dalam berbagai model dan bentuknya - memasuki tahap dimana suatu pendekatan yang lebih kritis dan integratif terhadap keseluruhan teori dan praktiknya sangat penting dilakukan. Sudah waktunya untuk mencari perbaikan yang lebih besar dan mutakhir. Berbagai pihak yang terlibat dengan disiplin ini, dihadapkan pada tugas-tugas yang menantang, yaitu meninjau ulang seluruh situasi, paling tidak pada tiga persoalan berikut. Pertama; membawa bersama usaha yang dilakukan oleh berbagai pihak dalam suatu pandangan sistem ekonomi Islam yang menyeluruh, tidak terkonsentrasi pada elemen khusus dari persoalan ekonomi Islam saja.

Kedua; meninjau ulang secara kritis berbagai model implementasi ekonomi Islam. Yang bertujuan untuk menguji teori-teori dan mengevaluasi lembaga-lembaga yang tumbuh terhadap kemungkinan kendala-kendala dan hambatan yang muncul. Ketiga; perlu meletakkan keseluruhan teori dan praktek perekonomian Islam dalam perspektif ekonomi dan moral Islam serta tata sosial. Unsur apapun dari sistem Islam, betapun pentingnya, tidak dapat melahirkan hasil yang diinginkan jika operasi dalam kesendirian. Hal ini harus mengarah pada perubahan-perubahan komplementer untuk melengkapi proses.

Misalnya penghapusan riba, itu hanyalah salah satu aspek dari program ekonomi Islam. Ia harus diikuti dengan, dan diperkuat melalui perubahan-perubahan struktural dan motivasional lainnya.4 Sehingga dari upaya-upaya diatas diharapkan sampai pada pengembangan suatu sistem ekonomi Islam yang komprehensif. Dalam konteks inilah, penulis dalam tulisan ini mencoba memaparkan ekonomi Islam: Prospek dan Tantangannya khususnya pengalaman di Indonesia, antara lain; berhubungan dengan lembaga keuangan Syariah dan Pengembangan Kurikulum Ekonomi Islam di Perguruan Tinggi Agama Islam.

Karena panjangnya pembahasan yang secara mendetail,maka silahkan sahabat download secara gratis disini

Baca Selengkapnya..

Rabu, 17 Maret 2010

Ilmu Ekonomi Islam tidak Kontekstual

Materi ilmu ekonomi Islam yang disampaikan di perguruan tinggi agama Islam hanya bersumber dari kitab klasik yang kedaluwarsa. Hasilnya, menjadi tidak kontekstual dengan era global Hidayatullah.com--Menurut Dirjen Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama (Bagais Depag) Qodri Azizy, figh mu'amalah (ilmu ekonomi Islam) bukan hanya menjadi judul mata kuliah. Bahkan, nama jurusan atau program studi.

Namun, hanya menjadi sebuah pengetahuan teori yang tidak pernah dipraktikkan. ''Buktinya, sampai saat ini, hampir tidak ada penelitian ke lapangan untuk mengetahui aktivitas ekonomi Islam,'' katanya menjawab Media di ruang kerjanya di Jakarta, kemarin.

Materi yang disampaikan tidak pernah berubah. Padahal, karakteristik ilmu itu empirik, berkembang, atau setidaknya realistik. Seperti, karakter ilmu-ilmu lain yang terbuka untuk berkembang.

Yang lebih parah, katanya, upaya mempraktikkan materi ilmu ekonomi Islam tidak pernah dicoba di perguruan tinggi berbasis agama Islam. Seperti, Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI), Institut Agama Islam Negeri (IAIN), atau Universitas Agama Islam (UIN). Padahal, semua perguruan tinggi agama Islam itu mengkaji ilmu-ilmu keislaman, termasuk fiqh mu'amalah.

Akibatnya, bukan saja ilmu ekonomi Islam menjadi stagnan dan statis, tetapi juga tidak bersentuhan dengan perkembangan dunia modern. Istilah valas, reksadana, dan obligasi, misalnya, tidak pernah tersentuh dalam praktik fiqh mu'amalah,'' ujar Qodri.

Lumrah saja, bila di lapangan yang menjadi pelopor dalam praktik ekonomi Islam adalah mereka yang berlatar belakang ahli ekonomi dan perbankan konvensional, bukan para ahli ilmu ekonomi Islam.

Padahal, sesungguhnya ilmu ekonomi Islam bukan cabang atau berasal dari ilmu ekonomi konvensional (sekuler). Tetapi, ilmu hasil ijtihad (inovasi dan kreasi) ulama yang dalam terminologi Islam disebut fiqh mu'amalah.

Di beberapa universitas di luar negeri, seperti Malaysia, Amerika, dan Timur Tengah, pelajaran ilmu ekonomi Islam dibarengi dengan praktik di lapangan. Wajar saja bila perkembangannya sangat pesat.

Berbeda dengan di Indonesia yang baru muncul belakangan ini. Bank Muamalat Indonesia (BMI) saja baru muncul 1992. Sedangkan, di negara lain sudah ada sejak lama.

Mantan rektor IAIN Walisongo Semarang pada 1999 ini mengatakan, isi, kemasan, dan metode ilmu ekonomi Islam yang disampaikan sama saja. Mulai madrasah ibtidaiah, madrasah sanawiah, madrasah aliah, pesantren, sampai perguruan tinggi.

Bahkan, tidak sedikit dosen IAIN, STAI, dan UIN yang bersikukuh ilmu ekonomi Islam sama dengan 'hukum dagang', tidak ada kaitannya dengan ekonomi dan perbankan, meskipun berpredikat Islam.

Di sisi lain, untuk ikut berkompetisi dalam era globalisasi, alumnus University of Chicago ini menjelaskan, sistem ekonomi Islam harus sanggup mengembangkan perbankannya.

Perbankan Islam harus bisa mengelola dana komersial, bukan hanya sekadar perpanjangan tangan distribusi zakat. Konteksnya, orientasi keuntungan tidak terabaikan begitu saja dengan dalil ajaran Islam.

Dalam Islam perdagangan dihalalkan. Namun, harus memerhatikan layanan komersial yang sesuai dengan ajaran Islam. ''Artinya, produk layanan di satu sisi memberi keuntungan pada pemilik modal dan di sisi lainnya mewujudkan keadilan sosial,'' kata Qodri.

Ini menunjukkan, ekonomi Islam harus sanggup berkompetisi dengan sistem ekonomi konvensional alias sekuler. Bukan semata-mata alasan dalil agama mengharamkan riba, kalau umat Islam meyakini agamanya sebagai rahmatan lil alamin yang mesti mampu mewujudkan pengelolaan layanan komersial yang profesional dan modern.

Untuk bisa berkompetisi di era global, ekonomi Islam harus mengembangkan layanan dan produk. Dan, ini hanya bisa melalui ijtihad yang kreatif dan inovatif. Pertimbangannya, Alquran dan contoh yang diberikan Nabi Muhammad saw sangat terbatas, tidak mencakup seluruh persoalan ekonomi mutakhir,'' kata Qodri. (mi)

Baca Selengkapnya..

Dampak Penyalahgunaan Perjanjian Kredit Dari PT. Bank Niaga Oleh CV. Rahayu Terhadap Tanah Objek Hak Tanggungan

Fokus penulisan ini adalah kasus perdata tanah mengenai wanprestasi dan Hak Tanggungan, sebagaimana terdapat pada Putusan MA No. 901/Pdt/2007, tanggal 24 Oktober 2007 tentang Perkara Permohonan Eksekusi Hak Tanggungan No.147/PEN.EKS/APHT/2003/PN.TNG., yang terjadi antara PT. Bank Niaga melawan Ny. Han Moy dan CV. Rahayu. Permasalahannya adalah apakah tindakan CV. Rahayu yang mengalihkan dana kredit ke bidang usaha lain selain daripada yang diperjanjikan dapat dinyatakan telah melakukan wanprestasi dan bagaimana akibat hukumnya ? Mengenai tindakan CV. Rahayu yang tidak melaksanakan Akta Perjanjian Kredit tentang Persetujuan Fasilitas Kredit Antara PT. Bank Niaga Tbk. dengan CV. Rahayu melainkan di alihkan ke bidang usaha lain yaitu pembebasan tanah Bandara Soekarno Hatta, berdasarkan Pasal 1338 KUHPer dapat dikatakan bahwa CV. Rahayu telah melakukan wanprestasi karena tidak melakukan apa yang diperjanjikan sebagaimana dituangkan dalam Akta Perjanjian Kredit No. 2 tanggal 14 Nopember 2002.

Hal itu melanggar perjanjian pada Pasal 12 dan Pasal 18 Akta Perjanjian Kredit tersebut, untuk panjar melalui Rekening Koran No. 3 tanggal 14 November 2002 tersebut di atas dengan terbukti tidak melakukan pembayaran dan sebagaimana pengakuan Ny. Han Moy, yang menyatakan bahwa CV. Rahayu telah menggunakan fasilitas kredit menyimpang dari tujuan pemberian fasiltas kredit sebagaimana ditentukan dalam perjanjian kredit. Dampak dari tindakan CV. Rahayu tersebut yang wanprestasi terhadap perjanjian tersebut adalah di lelangnya tanah yang menjadi objek hak tanggungan dalam hal ini berupa 3 (tiga) bidang tanah berikut segala sesuatu yang berdiri, tertanam dan melekat di atas tanah tersebut yang terdiri dari Sertifikat Hak Milik (SHM) No. 344/Desa Cibodas, SHM No. 421/Desa Cibodas, dan SHM No. 583/Desa Cibodas yang telah dijadikan jaminkan kepada PT. Bank Niaga Tbk. Kesimpulan bahwa perbuatan CV. Rahayu adalah wanprestasi, sehingga berdampak pada di lelangnya tanah yang dijaminkan kepada PT. Bank Niaga Tbk. Saran dari penulis adalah sebaiknya bagi para pihak yang telah melakukan perjanjian kredit dengan perjanjian hak tanggungan sebagai perjanjian accesoirnya, agar tunduk pada Pasal 1338 KUHPer.

Meningkatnya pembangunan nasional yang bertitik berat pada bidang ekonomi sehingga dibutuhkan penyediaan dana yang cukup besar. Oleh karena itu diperlukan lembaga hak jaminan yang kuat dan mampu memberi kepastian hukum bagi pihak-pihak yang berkepentingan, yang dapat mendorong peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Sehubungan dengan perkembangan tata ekonomi Indonesia, Staatsblad 1937-190 tentang Credietverband dipandang tidak sesuai lagi dengan kebutuhan kegiatan perkreditan, sedangkan perkembangan mengenai hak-hak atas tanah menuntut harus dapat memenuhi kebutuhan masyarakat banyak. Selain Hak Milik, Hak Guna Usaha, dan Hak Guna Bangunan sebagai hak atas tanah yang dapat dibebankan Hak Tanggungan berdasar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Hak Pakai atas tanah tertentu yang wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan, perlu juga dimungkinkan untuk dibebani Hak Tanggungan.

Berhubung dengan hal-hal tersebut di atas, maka dibentuklah undang-undang yang mengatur masalah hak tanggungan atas tanah secara tersendiri, sekaligus mewujudkan unifikasi Hukum Tanah Nasional. Undang-undang yang dimaksud adalah Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, yang kemudian disebut dengan Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT).

Hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hak tanggungan lahir dengan sebuah perjanjian. Adapun beberapa unsur pokok dari hak tanggungan adalah:
1. Hak yaitu hak jaminan yang dibebankan atas tanah sebagai yang dimaksud oleh UUPA;
2. Berikut atau tidak berikut dengan benda-benda yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu;
3. Untuk pelunasan utang tertentu;
4. Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur yang lain.

Adapun ciri-ciri hak tanggungan adalah memenuhi asas spesialitas dan asas publisitas. Asas spesialitas yaitu asas yang mewajibkan dalam muatan akta pemberian hak tanggungan harus mencantumkan ketentuan-ketentuan seperti ditegaskan dalam pasal 11 UUHT. Sedangkan asas publisitas yaitu asas yang mewajibkan didaftarkannya hak tanggungan pada kantor pertanahan setempat sesuai Pasal 13 UUHT.

Objek hak tanggungan adalah hak-hak atas tanah yang diatur dalam UUPA. Benda-benda (tanah) akan dijadikan jaminan atas suatu utang dengan dibebani hak tanggungan harus memenuhi syarat sebagai berikut:
1. Dapat dinilai dengan uang;
2. Harus memenuhi syarat publisitas;
3. Mempunyai sifat droit de suite apabila debitor cidera janji;
4. Memerlukan penunjukkan menurut UU.

Hak tanggungan tidak dapat berdiri sendiri tanpa didukung oleh suatu perjanjian (perjanjian kredit) antara debitor dan kreditor. Dalam perjanjian itu diatur tentang hubungan hukum antara kreditor dan debitor, baik menyangkut besarnya jumlah kredit yang diterima oleh debitor, jangka waktu pengembalian kredit, maupun jaminan yang nantinya akan diikat dengan hak tanggungan. Oleh karena hak tanggungan tidak dapat dilepaskan dari perjanjian kredit, itulah sebabnya maka hak tanggungan dikatakan accessoir (mengikuti) perjanjian pokoknya.

Kredit yang diberikan oleh kreditor mengandung risiko, maka dalam setiap pemberian kredit, bank tidak diperkenankan memberikan kredit tanpa ada suatu perjanjian tertulis. Itu sebabnya diperlukan suatu jaminan kredit dengan disertai keyakinan akan kemampuan debitor melunasi utangnya. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan yang menyatakan dalam memberikan kredit, bank umum wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitor untuk melunasi hutangnya sesuai yang diperjanjikan.

Dalam menjalankan suatu perjanjian khususnya dalam perjanjian kredit, para pihak (debitor, kreditor) selalu dibebani dua hal yaitu hak dan kewajiban. Menurut J. Satrio bahwa suatu perikatan yang dilahirkan oleh suatu perjanjian, mempunyai dua sudut: sudut kewajiban-kewajiban (obligations) yang dipikul oleh suatu pihak dan sudut hak-hak atau manfaat, yang diperoleh oleh lain pihak, yaitu hak-hak menurut dilaksanakannya sesuatu yang disanggupi dalam perjanjian itu. Jadi hak tanggungan merupakan jaminan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu, yang memberi kedudukan diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lainnya.

Kreditor sebagai pemegang hak tanggungan mempunyai hak mendahului daripada kreditor-kreditor yang lain (“droit de preference”) untuk mengambil pelunasan dari penjualan tersebut. Selain itu hak tanggungan akan tetap membebani obyek hak tanggungan ditangan siapapun benda itu berada, ini berarti bahwa kreditor pemegang hak tanggungan tetap berhak menjual lelang benda tersebut, biarpun sudah dipindahkan haknya kepada pihak lain (“droit de suite”).

Dalam hal terjadinya pengalihan barang jaminan kepada pihak lain tanpa seizing pihak kreditor maka kreditor dapat mengajukan upaya hukum untuk membatalkan seluruh tindakan deditor yang dianggap merugikan. Dengan demikian, dalam perjanjian tanggungan, pihak kreditor tetap diberikan hak-hak yang dapat menghindarkannya dari praktek-praktek “nakal” debitor atau kelalaian debitor.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam perjanjian hak tanggungan, seorang kreditor diberikan hak untuk mendapatkan pelunasan terlebih dahulu dari pihak pemberi tanggungan selain itu, pihak kreditor dapat pula mengajukan hak mendahuluinya, dalam hal terjadinya pengalihan barang jaminan oleh debitor tanpa izin kreditor.

Sehubungan dengan hak tanggungan atas tersebut di atas, sering terdapat kasus-kasus terkait dengan hak tanggungan yang muncul ke permukaan dan merupakan bahan pemberitaan di media massa. Secara makro penyebab munculnya kasus-kasus pertanahan tersebut adalah sangat bervariasi yang antara lain harga tanah yang meningkat dengan cepat, kondisi masyarakat yang semakin sadar dan peduli akan kepentingan/haknya, iklim keterbukaan yang digariskan pemerintah. Pada hakikatnya, kasus tersebut merupakan benturan kepentingan (conflict of interest) antara siapa dengan siapa, sebagai contoh konkret antara perorangan dengan perorangan, perorangan dengan badan hukum, badan hukum dengan badan hukum, dan lain sebagainya.

Kasus yang menjadi fokus pembahasan penulis dalam penulisan ini adalah kasus perdata tanah mengenai kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk memiliki obyek Hak Tanggungan apabila debitur cidera janji sebagaimana diputuskan oleh Mahkamah Agung melalui Putusan No. 901/Pdt/2007, tanggal 24 Oktober 2007 tentang Perkara Permohonan Eksekusi Hak Tanggungan No. 147/PEN.EKS/APHT/2003/PN.TNG. Sengketa hak tanggungan atas tanah inii terjadi antara PT. Bank Niaga selaku Pemohon Kasasi dahulu Tergugat I – Pembanding I melawan Ny. Han Moy selaku Termohon Kasasi dahulu Penggugat – Terbanding dan CV. Rahayu, Yohan Suparman, Pemerintah RI cq. Departemen Keuangan RI cq. Direktorat Jenderal Piutang Dan Lelang Negara, cq. Kantor Wilayah IV Bandung cq. Kantor Pelayanan Piutang Dan Lelang Negara Serang selaku para turut Termohon Kasasi dahulu para Tergugat – Pembanding II dan para turut Terbanding.

Kasus ini berawal dari perjanjian kredit antara CV. Rahayu dengan Bank Niaga dengan tujuan untuk investasi perluasan modal kerja, masa berlakunya kredit ini efektif mulai berlaku pada tanggal 14 Nopember 2002 dan harus dilunasi pada tanggal 14 Nopember 2005. Namun setelah pinjaman kredit diterima oleh CV. Rahayu, ternyata pelaksanaan program perluasan usaha sebagaimana yang tertuang dalam persetujuan fasilitas kredit tidak dilaksanakan, dan ternyata dialihkan kebidang usaha lain yaitu pembebasan tanah Bandara Soekarno Hatta.

Salah satu persyaratan dalam perjanjian kredit investasi adalah kewajiban dari CV. Rahayu, untuk menyerahkan sebagai jaminan yaitu 3 (tiga) bidang tanah Sertipikat Hak Guna Bangunan milik Penggugat yang asalnya dari Sertipikat Hak Milik No. 344, No. 421 dan No. 538 yang kini telah dibalik nama oleh PT. Bank Niaga menjadi :
1. Sertipikat HGB No. 8563/Cibodas, luas 650 m2, gambar situasi tanggal 15 Desember 2004 No. 271/Cibodas/2004, tertanggal 10 Juli 1987 yang tercatat atas nama PT. Bank Niaga Tbk ;
2. Sertipikat HGB No. 8564/Cibodas, luas 1.133 m2, gambar situasi tanggal 15 Desember 2004 No. 272/Cibodas/2004, tertanggal 15 Oktober 1991 yang tercatat atas nama PT. Bank Niaga Tbk ;
3. Sertipikat HGB No. 8565/Cibodas, luas 1.500 m2, gambar situasi tanggal 15 Desember 2004 No. 273/Cibodas/2004, tertanggal 10 April 1996 yang tercatat atas nama PT. Bank Niaga Tbk ;

Sertipikat Hak Guna Bangunan (HGB) milik Penggugat tersebut diatas telah dijadikan sebagai jaminan karena berdasarkan kesepakatan bersama yang tertuang dalam Akta pendirian perusahaan yang dibuat oleh Notaris Nani Wahyudi, SH dan Akta perubahan yang dibuat oleh Notaris Herry Sosiawan, SH, Sdr. Anton Wijaya selaku Direktur CV. Rahayu berjanji untuk dengan segera selambat-lambatnya pada tanggal 14 Maret 2003, setelah sertipikat hak atas tanah tersebut selesai segera menyerahkan kepada PT. Bank Niaga sebagai jaminan, dan melaksanakan serta menandatangani akta pemberian jaminan atas tanah dan bangunan sesuai dengan Akta Perjanjian Kredit.

Oleh karena CV. Rahayu tidak melaksanakan program perluasan usaha sebagaimana yang tertuang dalam persetujuan fasilitas kredit antara Bank Niaga dengan CV. Rahayu dan ternyata dialihkan kebidang usaha lain yaitu pembebasan tanah Bandara Soekarno Hatta. Maka seluruh jumlah pinjaman baik karena hutang pokok, bunga, provisi, fee dan biaya lainnya wajib dibayarkan kembali dengan seketika dan seluruhnya kepada Bank Niaga, karena kelalaian dari CV. Rahayu tersebut.

Oleh karena CV Rahayu terhitung sejak April 2003 tidak melakukan pembayaran atas kelalaiannya tersebut kepada Bank Niaga. Dengan berdasar pada Pasal 1267 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) dan Pasal 6 UUHT, Bank Niaga melakukan tindakan penyitaan atas harta milik Penggugat berupa Sertipikat Hak Milik No. 344 No. 421, No. 583 atas bidang tanah dan bangunan milik suami istri yang tercatat atas nama Yohan Suparman yang telah dijual lelang oleh Kantor Lelang Negara yang lelangnya telah dilaksanakan pada tanggal 3 September 2004 No. 426/2004.

Namun dalam proses pelelangan objek hak tanggungan dalam hal ini sertipikat hak milik (yang juga merupakan objek hak tanggungan CV. Rahayu terhadap Bank Niaga) yang dilakukan oleh Bank Niaga tersebut, namun dalam proses pelelangan tersebut Bank Niaga juga bertindak sebagai pembeli lelang dari sertipikat tersebut.

Dengan berdasar pada Pasal 10 Undang-Undang Nomor 49/PRP/1960 yang mengatur mengenai penyelesaian kredit macet menyatakan bahwa penyelesaian kredit macet harus diadakan kesepakatan terlebih dahulu antara debitur dengan Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) yang menghasilkan surat pernyataan bersama yang berkepala ‘Atas Nama Keadilan’. Kemudian surat pernyataan bersama ini mempunyai kekuatan eksekutorial sebagai landasan hukum untuk melakukan penyitaan barang agunan dan pelelangan, serta Pasal 12 UUHT yang menyebutkan bahwa “pemegang Hak Tanggungan dilarang untuk membeli tanah dimaksud dari pelelangan, jadi ikut dalam pelelangan apa akibatnya, pasti bahwa hal-hal yang sangat memprihatinkan akan terjadi dan yang menjadi korban adalah rakyat”, pihak penggugat Ny. Han Moy yang juga merupakan istri dari Yohan Suparman (Direktur Keuangan CV Rahayu yang mengadakan perjanjian kredit dengan Bank Niaga) menggugat bahwa pelelangan yang dilakukan oleh Bank Niaga cacat hukum.

Terhadap gugatan dari Ny. Han Moy tersebut di atas Pengadilan Negeri Tangerang telah membuat putusan, melalui Putusan No. 215/PDT.G/2005/PN.TNG, tanggal 21 Februari 2006 yang amarnya sebagai berikut : “Menyatakan tidak sah penjualan lelang atas tanah-tanah milik Yohan Suparman yaitu Serfikat Hak Milik No. 344, No. 421, dan No. 583 oleh Bank Niaga melalui perantaraan Kantor Pelayanan Piutang Dan Lelang Negara Serang. Menyatakan Risalah Lelang 426/2004 tertanggal 3 September 2004 yang dibuat oleh turut Tergugat I tidak mempunyai kekuatan hukum. Dan menghukum turut Tergugat I dan turut Tergugat II tunduk dan patuh terhadap putusan ini.”

Putusan Pengadilan Negeri tersebut diambil alih sebagai pertimbangan hukum dari Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Banten di Serang dan dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Banten dengan putusan No. 41/Pdt/2006/PT.Banten tanggal 18 September 2006.
Dalam perkara ini dengan mendasarkan diri Pasal 12 A (1) UU No. 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992 Tentang PERBANKAN yang berbunyi “Bank Umum dapat membeli sebagian atau seluruh agunan, baik melalui pelelangan maupun diluar pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan kuasa untuk menjual diluar lelang dari pemilik agunan dalam hal Nasabah Debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada Bank, dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya ; yang selanjutnya penjelasan dari pasal ini menyatakan bahwa “Pembelian agunan oleh bank melalui pelelangan dimaksudkan untuk membantu bank agar dapat mempercepat penyelesaian kewajiban Nasabah Debiturnya.

Dalam hal Bank sebagai pembeli agunan Nasabah Debiturnya, status bank adalah sama dengan pembeli bukan bank lainnya. Bank dimungkinkan membeli agunan diluar pelelangan dimaksudkan agar dapat mempercepat penyelesaian kewajiban Nasabah Debiturnya. Bank Niaga melakukan permohonan kasasi secara lisan pada tanggal 14 Desember 2006 sebagaimana ternyata dari akte permohonan kasasi No. 215/Pdt.G/2005/PN/TNG yang dibuat oleh Panitera Pengadilan Negeri Tangerang, permohonan mana disertai dengan/diikuti oleh memori kasasi yang memuat alasan-alasan yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri tersebut pada tanggal 27 Desember 2006.

Berdasarkan hal tersebut Mahkamah Agung pada tanggal 24 Oktober 2007 melalui Putusan No. 9001 K/Pdt/2007, memutuskan untuk membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Banten di Serang No. 41/Pdt/2006/PT.Banten tanggal 18 September 2006 yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri Tangerang No. 215/Pdt.G/2005/PN.TNG, tanggal 21 Februari 2006, menolak gugatan Penggugat, dan menghukum Termohon Kasasi/Penggugat untuk membayar biaya perkara.

Hal tersebut di ataslah yang menjadi fokus pembahasan dari penulisan ilmiah ini, yaitu mengenai keabsahan dari pemegang Hak Tanggungan untuk ikut menjadi peserta lelang dan membeli tanah yang merupakan objek Hak Tanggungan dalam suatu pelelangan dari objek tersebut. Ini terjadi karena adanya kerancuan yang terkandung dalam Pasal 12 UUHT yang berbunyi “Janji yang memberi kewenangan kepada pemegang hak tanggungan untuk memiliki obyek Hak Tanggungan apabila cidera janji, akan batal demi hukum”.
Selain itu bagaimana dengan pertimbangan hukum dari Termohon Kasasi/dahulu Penggugat dengan berdasar pada Pasal 10 Undang-Undang Nomor 49/PRP/1960 yang mengatur mengenai penyelesaian kredit macet menyatakan bahwa penyelesaian kredit macet harus diadakan kesepakatan terlebih dahulu antara debitur dengan PUPN yang menghasilkan surat pernyataan bersama yang berkepala ‘Atas Nama Keadilan’.

Kemudian surat pernyataan bersama ini mempunyai kekuatan eksekutorial sebagai landasan hukum untuk melakukan penyitaan barang agunan dan pelelangan. Apakah hal ini dapat menyebabkan proses kepemilikan tanah Serfikat Hak Milik No. 344, No. 421, dan No. 583 yang di beli melalui pelelangan tersebut menjadi cacat hukum.
Berdasarkan uraian di atas, penulis merasa tertarik untuk mengangkat permasalahan yang timbul ke dalam suatu penulisan skripsi yang berjudul: “Dampak Penyalahgunaan Perjanjian Kredit Dari PT. Bank Niaga Oleh CV. Rahayu Terhadap Tanah Objek Hak Tanggungan”.

Baca Selengkapnya..

PENGGUNAAN LAYANAN JASA BANK SAFE DEPOSIT BOX PADA BANK JATENG DAN PERMASALAHANNYA

jenis perjanjian penggunaan Safe Deposit Box pada bank Jateng memenuhi dua unsur, yaitu unsur perjanjian sewa menyewa dan unsur perjanjian penitipan barang. Dengan terjalinnya kedua unsur perjanjian tersebut, maka perjanjian penggunaan Safe Deposit Box tersebut lebih tepat bila disebut dengan perjanjian campuran. Penggunaan layanan jasa bank Safe Deposit Box pada Bank Jateng hanya diperuntukkan untuk menyimpan barang-barang yang sesuai dengan persyaratan umum penggunaan Safe Deposit Box.

Dalam perjanjian penggunaan Safe Deposit Box, masing-masing pihak mempunyai hak dan kewajiban yang harus dipenuhi. Pihak bank Jateng berhak untuk memutuskan persewaan pada saat masih berlangsungnya masa persewaan. Bentuk penyimpanan yang dipilih oleh deposan adalah penyimpanan tertutup dengan alasan barang-barang yang disimpan dalam Safe Deposit Box Bank Jateng lebih cenderung bersifat pribadi dan rahasia.

Dalam hal penggunaan Safe Deposit Box pada Bank Jateng, permasalahan yang mungkin timbul kemungkinannya disebabkan oleh tidak adanya pemenuhan kewajiban dari salah satu pihak. Pada pihak deposan tidak terjadi pembayaran sewa Safe Deposit Box, sedangkan pada pihak bank adalah mengenai pemberian ganti rugi atas kerusakan atau kehilangan barang yang berada pada Safe Deposit Box.

Pembangunan Nasional bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, berdaulat, bersatu, dan berkedaulatan rakyat dalam suasana perikehidupan bangsa yang aman, tenteram, tertib, dan dinamis dalam lingkungan pergaulan dunia yang merdeka, bersahabat, tertib, serta damai.

Pembangunan Nasional sebagai pengamalan Pancasila yang mencakup seluruh aspek kehidupan bangsa diselenggarakan bersama oleh masyarakat dan pemerintah. Untuk mencapai tujuan tersebut telah dilaksanakan pembangunan di segala bidang dengan titik berat diletakkan pada bidang ekonomi seiring dengan kualitas sumber daya manusia tetap bertumpu pada aspek pemerataan pertumbuhan dan stabilitas.

Dalam rangka menunjang pembangunan Indonesia di bidang ekonomi, pemerintah banyak mendirikan bank untuk membantu masyarakat. Dalam hal ini lembaga perbankan mempunyai peranan yang sangat penting dan menentukan di dalam pencapaian tujuan nasional, terutama disebabkan oleh fungsi utama bank sebagai suatu wahana yang dapat menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat secara efektif dan efisien, dengan berdasarkan demokrasi ekonomi untuk mendukung pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan pembangunan, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional kearah peningkatan taraf hidup rakyat banyak.

Peranan lembaga bank dalam masyarakat dapat dilihat dari segi spiritual dan segi material. Dari segi spiritual bank dapat mewujudkan rasa aman bagi masyarakat, sedangkan bila ditinjau dari segi material yaitu tabungan yang tersimpan di dalam bank adalah sebagai pengisi dan pelaksana pembangunan, dalam mewujudkan tujuan nasional pembangunan jangka panjang.

Di bidang perbankan, Indonesia telah mengambil kebijaksanaan dengan merubah dan menyempurnakan pasal-pasal dari Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dengan mengundangkan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992. Untuk selanjutnya disebut sebagai Undang-undang Perbankan.
Perbankan, khususnya bank umum, merupakan inti dari sistem keuangan setiap negara. Bank merupakan lembaga keuangan yang menjadi tempat bagi perusahaan, badan-badan pemerintah dan swasta, maupun perorangan menyimpan dana-dananya. Melalui kegiatan perkreditan dan berbagai jasa yang diberikan, bank melayani kebutuhan pembiayaan serta melancarkan mekanisme sistem pembayaran. Dana yang dihimpun oleh bank harus disalurkan kembali ke masyarakat dalam bentuk kredit. Hal ini dilakukan karena fungsi bank adalah sebagai lembaga perantara (intermediari) antara pihak-pihak yang kelebihan dana dengan pihak yang kekurangan dana, dan keuntungan bank diperoleh dari selisih antara harga jual dan harga beli dana tersebut setelah dikurangi biaya operasional. Dengan demikian bank harus mampu menempatkan dana tersebut dalam bentuk penempatan yang paling menguntungkan.

Dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya, bank umum dapat melakukan kegiatan pokok sebagai berikut:
1. Menghimpun dana dari masyarakat.
2. Memberikan kredit.
3. Menerbitkan surat pengakuan utang.
4. Membeli, menjual, atau menjamin atas resiko sendiri maupun untuk kepentingan nasabah.
5. Menempatkan dana, meminjamkan dana, dengan menggunakan surat, sarana.
6. Telekomunikasi, maupun wesel unjuk, cek . atau sarana lain.
7. Menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharaga SDB (Safe Deposit Box).
8. Melakukan kegiatan anjak piutang, usaha kartu kredit, dan kegiatan wali amanat.
9. Menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah.
10. Melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh bank.

Dalam usahanya bank menghimpun dana untuk membiayai kegiatan dan sekaligus memenuhi kebutuhan masyarakat mempunyai fasilitas produk layanan jasa yaitu pelayanan jasa di bidang penyimpanan Safe Deposit Box. Pelayanan Safe Deposit Box ini sangat membantu masyarakat dalam mengamankan barang, perhiasan, dokumen surat berharga, logam mulia, dan barang-barang berharga lainnya, karena tidak selamanya barang berharga dapat aman bila disimpan di dalam rumah.

Safe Deposit Box itu sendiri adalah suatu sistem pelayanan bank kepada masyarakat dimana bank menyewakan box dengan ukuran dan jangka waktu tertentu dan nasabah menyimpan sendiri kunci kotak pengaman tersebut. Kotak pengaman (Safe Deposit Box) adalah simpanan dalam bentuk tertutup, dalam arti pejabat bank tidak boleh memeriksa/menyaksikan wujud/bentuk barang yang disimpan.

Apabila calon penyewa telah menyetujui akan menyewa suatu Safe Deposit Box maka kepadanya akan diberikan formulir kontrak bank yang harus ditandatangani. Apabila formulir tersebut telah ditandatangani, maka pada saat itu telah terjadi persetujuan dimana pihak penyewa telah mengikatkan dirinya kepada pihak bank. Perjanjian ini dikenal dengan perjanjian baku, dimana perjanjian tersebut telah dibuat terlebih dahulu oleh bank dan disodorkan kepada debitor/pihak penyewa Safe Deposit Box dalam bentuk formulir.

Tidak semua bank menyediakan pelayanan jasa Safe Deposit Box, Bank Jateng merupakan salah satu bank yang selain usahanya menghimpun dana untuk membiayai kegiatan dan kebutuhan masyarakat, juga memiliki fasilitas produk pelayanan jasa penyimpanan barang dalam Safe Deposit Box.

Pelayanan jasa penyimpanan barang dalam Safe Deposit Box pada Bank Jateng diatur dalam suatu perjanjian tertulis/kontrak antara Bank Jateng dengan nasabah penyimpan. Perjanjian tersebut tercantum dalam Peraturan Umum Tentang Penyimpanan Barang-barang Dalam Safe Deposit Box pada PT. Bank Jateng.

Meskipun dalam kenyataan perjanjian Safe Deposit Box pada Bank Jateng tersebut berjudul perjanjian penyimpanan barang (penitipan barang), tetapi bila dilihat dari isi perjanjiannya, perjanjian Safe Deposit Box tersebut memiliki unsur perjanjian sewa menyewa. Mendasarkan pada uraian tersebut, maka penulis berkeinginan untuk mengadakan penelitian tentang penggunaan layanan Safe Deposit Box pada Bank Jateng kedalam bentuk penulisan skripsi yang berjudul “PENGGUNAAN LAYANAN JASA BANK SAFE DEPOSIT BOX PADA BANK JATENG DAN PERMASALAHANNYA”.

Baca Selengkapnya..

Selasa, 16 Maret 2010

KEWENANGAN PENGADILAN NIAGA MENGADILI PERKARA KEPAILITAN DAN KAITANNYA DENGAN KEBERADAAN PERJANJIAN ARBITRASE

Pengadilan Niaga adalah pengadilan yang secara khusus berwenang menangani perkara kepailitan, kewenangan pengadilan Niaga adalah mutlak walaupun sebelumnya para pihak telah melakukan perjanjian arbitrase. Permasalahan yang diangkat dari penelitian ini adalah sejauhmana sejauh mana kewenangan Pengadilan Niaga mengadili perkara kepailitan dalam kaitannya dengan keberadaan perjanjian arbitrase,bagaimana bentuk penanganan perkara kepailitan pada pengadilan niaga, dan, dan untuk mengetahui akibat hukum putusan pailit yang dikeluarkan oleh Pengadilan Niaga terhadap para pihak yang berperkara. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kewenangan, penanganan, dan akibat putusan kepailitan pada Pengadilan Niaga.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum normarif yaitu penelitian yang dilakukan terhadap ketentuan-ketentuan hukum yang berkaitan dengan kepailitan dan arbitrase. Teknik Pengumpulan Data yang dipergunakan adalah studi kepustakaan.. Pengolahan dan analisis data dan informasi yang telah dikumpulkan dianalisis secara kualitatif.Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa Pengadilan Niaga berwenang memutus perkara kepailitan walaupun para pihak telah melakukan perjanjian arbitrase, karena arbitrase merupakan suatu prosedur penyelesaian sengketa yang bertujuan menyelesaikan perselisihan para pihak akibat dilanggarnya ketentuan-ketentuan dalam perjanjian, sedangkan kepailitan berhubungan dengan status personal seseorang. Penanganan perkara kepailitan pada Pengadilan Niaga dilakukan berdasarkan tata cara yang telah diatur dalam Undang-Undang Kepailitan yaitu pada Pasal 6 sampai dengan Pasal 14.

Apabila tidak diatur secara khusus oleh Undang-Undang Kepailitan maka penanganan diatur berdasarkan hukum acara perdata yang berlaku. Dalam Pasal 24 UU No. 37 Tahun 2004, pernyataan pailit mengakibatkan debitor demi hukum kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus kekayaannya, terhitung sejak pernyataan putusan kepailitan.

Kemerdekaan yang diraih Bangsa Indonesia merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa dan diperoleh melalui perjuangan yang sangat panjang. Oleh karena itu, hasil dari perjuangan tersebut harus dipertahankan untuk memberikan kesempatan kepada Bangsa Indonesia mewujudkan kesejahteraan yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Sejalan dengan perkembangan pembangunan nasional, pembangunan dunia usaha di Indonesia turut pula berkembang dengan pesat.

Hal ini dapat dilihat dengan munculnya banyak pengusaha, baik yang bertindak secara pribadi maupun bersama-sama mendirikan perusahaan dengan tujuan untuk mencari keuntungan. Keadaan suatu perusahaan tidaklah selalu berjalan dengan baik dan terkadang mengalami kesulitan di bidang keuangan sehingga perusahaan tersebut tidak lagi sanggup membayar utang-utangnya. Didalam menjalankan usahanya, perusahaan membutuhkan modal, baik berupa uang ataupun berupa barangbarang.

Di dalam menjalankan usaha, satu hal yang pasti perusahaan akan memperoleh keuntungan atau kerugian. Jika perusahaan itu memperoleh keuntungan, tentu saja perusahaan itu akan terus berkembang bahkan bisa menjadi perusahaan raksasa, tetapi apabila perusahaan tersebut mengalami kerugian, maka untuk mempertahankan usahanya akan dirasakan sangat sulit. Untuk mempertahankan usahanya tersebut perusahaan dapat melakukan peminjaman uang yang dibutuhkan kepada pihak lain. Dalam kehidupan memang tersedia sumber-sumber dana bagi seseorang atau badan hukum yang ingin memperoleh pinjaman, dari sumber-sumber dana itulah kekurangan dana dapat diperoleh.

Pemberian pinjaman oleh kreditor kepada debitor didasarkan pada asumsi bahwa kreditor percaya debitor dapat mengembalikan utang tepat pada waktunya. Pelunasan utang oleh debitor kepada kreditor tidak selalu dapat berjalan dengan lancar adakalanya debitor tidak membayar utangnya kepada kreditor walaupun telah jatuh tempo. Debitor yang tidak mampu melunasi utangnya, maka harta kekayaan debitor yang bergerak maupun tidak bergerak dan baik yang telah ada maupun yang akan ada dikemudian hari menjadi jaminan atas utangnya.

Hal ini diatur dalam Pasal 1131 KUHPerdata, dengan kata lain Pasal 1131 tersebut tidak hanya menentukan bahwa harta kekayaan seseorang debitor demi hukum menjadi agunan bagi kewajiban yang berupa membayar utangnya kepada kreditor yang mengutanginya, tetapi juga menjadi agunan bagi semua kewajiban lain yang timbul karena perikatan-perikatan lain, baik perikatan itu timbul karena undang-undang maupun karena perjanjian selain perjanjian kredit atau perjanjian pinjam-meminjam uang.

Ketentuan Pasal 1132 KUHPerdata mengisyaratkan bahwa setiap kreditor memiliki kedudukan yang sama terhadap kreditor lainnya, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang karena memiliki alasan-alasan yang sah untuk didahulukan daripada kreditor-kreditor lainnya. Kedua pasal yang tersebut di atas merupakan jaminan bagi kreditor untuk mendapatkan pelunasan bagi semua piutangnya, tapi untuk melaksanakan pembayaran utang oleh debitor kepada kreditor dengan adil diperlukan peraturan khusus, salah satunya adalah peraturan khusus yang mengatur tentang kepailitan yaitu Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Ketentuan yang mengatur secara khusus tentang kepailitan pada awalnya terdapat dalam Wet Boek Van Koophandel WVK) buku III, namun dicabut dan diganti dengan Staatblad 1905 No. 217 Tentang Faillissemensverordening staatblad 1906 No.348.1

Peraturan ini kemudian disempurnakan dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Kepailitan yang kemudian pada tanggal 9 September 1998 ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 Tentang Kepailitan dan Kewajiban Pembayaran Utang. Pada tahun 2004, peraturan ini disempurnakan lagi dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 37 1 Sutan Remy Sjahdeini, 2002, Hukum Kepailitan, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, Halaman 5 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang selanjutnya dikenal dengan Undang-Undang Kepailitan (UUK).

Menurut ketentuan Undang-Undang Kepailitan (UUK) tersebut, kreditor dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit kepada Pengadilan Niaga. Dari ketentuan Pasal 2 ayat (1) dapat disimpulkan bahwa permohonan pernyataan pailit hanya dapat dilakukan apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1. debitor paling sedikit mempunyai dua kreditor dengan kata lain harus memiliki lebih dari satu kreditor;

2. debitor paling sedikit tidak membayar satu utang kepada kreditor; dan

3. utang yang tidak dibayar itu telah jatuh waktu dan telah dapat ditagih.
Didalam pelaksanaan perjanjian antara debitor dan kreditor biasanya tidak selalu berjalan dengan lancar sehingga dalam menyepakati suatu perjanjian para pihak adakalanya memasukkan klausul arbitrase dalam perjanjian tersebut, yang mana klausul arbitrase ini sangat diperlukan bagi para pihak, terutama apabila terjadi sengketa atau perselisihan diantara para pihak. Penyelesaian perselisihan yang terjadi dapat dilakukan para pihak melalui peradilan umum dan arbitrase, tetapi pada saat ini para pihak lebih banyak menggunakan arbitrase daripada peradilan umum karena lebih menguntungkan para pihak dan dengan waktu yang lebih singkat. Dasar pokok arbitrase adalah kesepakatan para pihak yang bersengketa yang dituangkan dalam perjanjian tertulis dan mereka menunjuk pihak ketiga yang diberi wewenang untuk memutuskan sengketa. Para pihak berjanji untuk mematuhi putusan yang diberikan oleh pihak ketiga tersebut.

Selain itu, di dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dinyatakan bahwa arbitrase mempunyai kelebihan dibandingkan lembaga peradilan.
Kelebihan tersebut antara lain:
1. dijamin kerahasiaan sengketa para pihak;
2. dapat dihindarkan kelambatan yang diakibatkan karena prosedur dan administratif;
3. para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya;
4. para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalah serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase; dan
5. putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak dengan melalui tata cara (prosedur) sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan.

Para pihak jika dalam perjanjiannya sepakat akan menggunakan arbitrase, jika ternyata dikemudian hari terjadi perselisihan atau sengketa terhadap pelaksanaan perjanjian yang mereka buat maka sengketa apapun yang terjadi, para pihak tersebut akan menggunakan arbitrase sebagai penyelesaiannya. Jika salah satu pihak dalam suatu perjanjian kreditor dan pihak yang lain debitor, pihak debitor yang dikarenakan oleh salah satu sebab tidak membayar/berhenti membayar utangnya kepada kreditor, maka menurut Undang-Undang Kepailitan (UUK), kreditor dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit kepada Pengadilan Niaga.Terhadap hal yang demikian apabila dalam perjanjian tersebut ada klausul arbitrase, apakah debitor atau kreditor dapat mengajukan permohonan pailit kepada Pengadilan Niaga yang berwenang untuk memeriksa perkara tersebut atau diselesaikan melalui prosedur arbitrase sesuai dengan isi perjanjian. Seperti dalam perkara kepailitan antara PT. Invironmental Network Indonesia sebagai pemohon pernyataan pailit/kreditor melawan PT. Putra Putri Fortuna Windu dan PPF International Corporation sebagai termohon pailit/debitor, berdasarkan perjanjian pemohon menerima pekerjaan jasa manajemen termasuk kontruksi di bidang agrikultur atau proyek tambak udang dari termohon I dengan mengeluarkan biaya terlebih dahulu, termasuk membayar tenaga kerja yang diperlukan, dan secara berkala akan diganti oleh termohon I dengan menggunakan uang dari termohon II selaku penyandang dana, akan tetapi sebelum perjanjian berakhir pihak termohon mengakhiri secara paksa perjanjian tersebut, selain itu terdapat perbedaan jumlah utang yang harus dibayarkan oleh termohon kepada pemohon.

Berdasarkan fakta tersebut pemohon mengajukan permohonan pernyataan pailit kepada Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Akan tetapi majelis hakim tidak mengabulkan permohonan tersebut karena para pihak memasukkan klausul arbitrase dalam perjanjiannya. Perkara kepailitan antara PT. Invironmental Network Indonesia melawan PT. Putra Putri Fortuna Windu dan PPF International Corporation tersebut diselesaikan sampai dengan upaya hukum Peninjauan Kembali. Berdasarkan kewenangan Pengadilan Niaga dalam memutuskan perkara kepailitan dan adanya klausul arbitrase dalam perjanjian para pihak yang bersengketa maka penulis tertarik memilih judul “KEWENANGAN PENGADILAN NIAGA MENGADILI PERKARA KEPAILITAN DAN KAITANNYA DENGAN KEBERADAAN PERJANJIAN ARBITRASE”.

Baca Selengkapnya..

PELAKSANAAN PEMBERIAN KREDIT DENGAN JAMINAN HAK TANGGUNGAN PADA PERUSAHAAN DAERAH BANK PERKREDITAN RAKYAT

Adanya aturan hukum mengenai pelaksanaan pembebanan Hak Tanggungan dalam suatu perjanjian kredit bertujuan untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi semua pihak dalam memanfaatkan tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah sebagai jaminan kredit.

Untuk itu, praktik pengikatan kredit dengan jaminan Hak Tanggungan dalam kegiatan dalam kegiatan perbankan hendaknya dapat pula dilaksanakan sesuai dengan apa yang telah diatur dalam UUHT. Permasalahan yang akan diteliti adalah mengenai tata cara pelaksanaan pemberian kredit dengan jaminan Hak Tanggungan pada PD BPR BKK Tengaran, serta hambatan-hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan pemberian kredit dengan jaminan Hak Tanggungan beserta cara mengatasinya Dari penelitian yang dilakukan pada PD PBR BKK Tengaran diperoleh hasil mengenai tata cara pelaksanaan pemberian kredit dengan jaminan Hak Tanggungan yang meliputi pemberian kredit oleh PD BPR BKK Tengaran yang menimbulkan hak dan kewajiban antara kedua belah pihak (kreditur dan debitur).

Pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bertujuan untuk menjamin kepastian hukum terhadap hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan, pendaftaran Akta pemberian Hak Tanggungan dimaksudkan untuk mendapatkan kepastian hukum antara pihak kreditur sebagai pemegang Hak Tanggungan dan pihak debitur sebagai pemberi Hak Tanggungan serta mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya, serta hambatan-hambatan yang dihadapi oleh PD BPR BKK Tengaran dan cara mengatasinya. Hambatan-hambatan tersebut adalah mengenai tanaha yang belum bersertifikat dijadikan sebagai jaminan kredit cara mengatasinya adalah dengan memberikan kredit kepercayaan (kredit tanpa jaminan) dan upaya yang dilakukan PD BPR BKK Tengaran dalam mengatasi kredit macet antara lain dengan melakukan pelelangan terhadap benda jaminan debitur dan restrukturisasi kredit.

Dari hasil penelitian tersebut dapat diambil kesimpulan yaitu kredit perbankan mempunyai peran yang sangat penting dalam bidang perekonomian terutama praktik pengikatan jaminan kredit dengan jaminan Hak Tanggungan yang bertujuan untuk memberikan jaminan kepastian hukum antar kedua belah pihak.

Pembagunan di bidang ekonomi, merupakan bagian dari pembangunan nasional, salah satu upaya untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Dalam rangka memelihara kesinambungan pembangunan tersebut, yang para pelakunya meliputi baik pemerintah maupun masyarakat sebagai orang perorangan dan badan hukum, sangat diperlukan dana dalam jumlah yang besar. Salah satu sarana yang mempunyai peran strategis dalam pengadaan dana tersebut adalah Perbankan.

Berbagai lembaga keuangan, terutama bank konvensional, telah membantu pemenuhan kebutuhan dana bagi kegiatan perekonomian dengan memberikan pinjaman uang antara lain dalam bentuk kredit perbankan. Kredit perbankan merupakan salah satu usaha bank konvensional yang telah banyak dimanfaatkan oleh anggota masyarakat yang memerlukan dana.

Pasal 3 dan 4 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 juncto Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan disebutkan bahwa fungsi utama Perbankan Indonesia adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat yang bertujuan menunjang pelaksanan pembangunan nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak. Dalam menjalankan fungsinya tersebut, maka bank melakukan usaha menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu. Dalam hal ini bank juga menyalurkan dana yang berasal dari masyarakat dengan cara memberikan berbagai macam kredit.

Pengertian kredit menurut Pasal 1 angka 11 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Berdasarkan ketentuan tersebut dalam pembukaan kredit perbankan harus didasarkan pada persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam atau dengan istilah lain harus didahului dengan adanya perjanjian kredit.

Perjanjian kredit yang diberikan oleh bank kepada nasabah bukanlah tanpa risiko, karena suatu risiko mungkin saja terjadi. Risiko yang umumnya terjadi adalah risiko kegagalan atau kemacetan dalam pelunasan. Keadaan tersebut sangatlah berpengaruh kepada kesehatan bank, karena uang yang dipinjamkan kepada debitor berasal atau bersumber dari masyarakat yang disimpan pada bank itu sehingga risiko tersebut sangat berpengaruh atas kepercayaan masyarakat kepada bank yang sekaligus kepada keamanan dana masyarakat tersebut.

Kredit yang diberikan oleh bank tentu saja mengandung risiko, sehingga dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat. Untuk mengurangi risiko tersebut, jaminan pemberian kredit dalam arti keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan merupakan faktor penting yang harus diperhatikan oleh bank. Untuk memperoleh keyakinan tersebut, sebelum memberikan kredit, bank harus melakukan penilaian yang saksama terhadap watak, kemampuan, modal agunan, dan prospek usaha dari debitur. Apabila unsur-unsur yang ada telah dapat meyakinkan kreditur atas kemampuan debitur maka jaminan cukup hanya berupa jaminan pokok saja dan bank tidak wajib meminta jaminan tambahan.

Jaminan pokok yang dimaksud dalam pemberian kredit tersebut adalah jaminan yang berupa sesuatu atau benda yang berkaitan langsung dengan kredit yang dimohon. Sesuatu yang dimaksud di sini adalah proyek atau prospek usaha yang dibiayai dengan kredit yang dimohon, sementara itu yang dimaksud benda di sini adalah benda yang dibiayai atau dibeli dengan kredit yang dimohon. Jenis tambahan yang dimaksud adalah jaminan yang tidak bersangkutan langsung dengan kredit yang dimohon. Jaminan ini berupa jaminan kebendaan yang objeknya adalah benda milik debitur maupun perorangan, yaitu kesanggupan pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban debitur.

Kita mengenal dua jenis hak jaminan kredit dalam praktik di masyarakat, yaitu:

1. Hak-hak jaminan kredit perorangan (personal guarantly), yaitu jaminan sesorang pihak ketiga yang bertindak untuk menjamin dipenuhinya kewajiban- kewajiban debitur. Termasuk dalam golongan ini antara lain “borg” yaitu pihak ketiga yang menjamin bahwa hutang orang lain pasti dibayar;

2. Hak-hak jaminan kredit kebendaan (persoonlijke en zakelijke zekerheid), yaitu jaminan yang dilakukan oleh kreditur dengan debiturnya, ataupun antara kreditur dengan seseorang pihak ketiga yang menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban debitur. Termasuk golongan ini apabila yang bersangkutan didahulukan terhadap kreditur-kreditur lainnya dalam hal pembagian penjualan hasil harta benda debitur, meliputi: previlege (hak istimewa), gadai, dan hipotek.

Praktik jaminan yang sering digunakan pada perbankan Indonesia, adalah jaminan kebendaan yang meliputi:

1. Hipotek, yaitu suatu hak kebendaan atas benda-benda tidak bergerak, untuk mengambil penggantian dari padanya bagi pelunasan suatu perikatan (pasal 1162 KUH Perdata);

2. Credietverband, yaitu suatu jaminan atas tanah berdasarkan Koninklijk Besluit (KB) tanggal 6 Juli Tahun 1908 No. 50 (Stbl 1908 No. 542);

3. Fiducia (fiduciare eigendomsoverdracht), yaitu pemindahan milik secara kepercayaan.

Lembaga jaminan Hak Tanggungan digunakan untuk mengikat objek jaminan utang yang berupa tanah atau benda-benda yang berkaitan dengan tanah yang bersangkutan. Dengan berlakunya Undang-undang Hak Tanggungan Tahun 1996, maka hipotek yang diatur oleh KUH Perdata dan credietverband yang sebelumnya digunakan untuk mengikat tanah sebagai jaminan hutang, untuk selanjutnya sudah tidak dapat digunakan oleh masyaraat untuk mengikat tanah. Pengikatan objek jaminan hutang berupa tanah sepenuhnya dilakukan melalui lembaga jaminan Hak Tanggungan.

Undang-undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, yang untuk selanjutnya disebut UUHT memberikan definisi “Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah”, yang selanjutnya disebut “Hak Tanggungan”, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 ayat (1) UUHT sebagai berikut “Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.”

Adanya aturan hukum mengenai pelaksanaan pembebanan Hak Tanggungan dalam suatu perjanjian kredit bertujuan untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi semua pihak dalam memanfaatkan tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah sebagai jaminan kredit. Untuk itu, praktik pengikatan kredit dengan jaminan Hak Tanggungan dalam kegiatan perbankan hendaknya dapat pula dilaksanakan sesuai dengan apa yang telah diatur dalam UUHT. Dari hal tersebut mendorong penulis untuk melakukan penelitian tentang pelaksanaan pemberian kredit dengan jaminan Hak Tanggungan di lingkungan perbankan, khususnya bagi masyarakat kecil yang membutuhkan modal yang tidak terlalu besar, beserta hambatan-hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan pemberian kredit dengan jaminan hak Tanggungan dalam praktik.

Untuk mengetahui lebih lanjut hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan pemberian kredit dengan jaminan Hak Tanggungan dan hambatan-hambatan yang dihadapi dalam praktik maka penulis mengadakan penelitian dengan judul: “Pelaksanaan Pemberian Kredit dengan Jaminan Hak Tanggungan pada Perusahaan Daerah Bank Perkreditan Rakyat Badan Kredit Kecamatan Tengaran Kabupaten Semarang ”.

Baca Selengkapnya..

BALAI HARTA PENINGGALAN SEBAGAI PENGAMPU KEPAILITAN

Sebelum lahirnya UUK Tahun 1998, yaitu menurut Peraturan Kepailitan, yang menjadi kurator adalah hanya Balai Harta Peninggalan, yang pada kenyataannya dalam menjalankan tugasnya, peran balai Harta Peninggalan sangat kecil, maka peran dan fungsi balai harta Peninggalan pada UUK yang baru ini nyaris tidak ada. Karena menurut ketentuan dalam UUK ini, kurator ada dua macam yaitu balai Harta Peninggalan dan kurator lainnya. Balai Harta Peninggalan baru bertindak selaku kurator apabila debitor atau pihak kreditor tidak mengajukan usul pengangkatan kurator kepada Pengadilan. Itu artinya balai Harta Peninggalan hanya dianggap sebagai kurator cadangan. Karena selama ini, Balai Harta Peninggalan dianggap kurang profesional karena tidak mempunyai tenaga-tenaga ahli yang memadai terutama ketika Balai Harta Peninggalan harus menjalankan perusahaan si pailit agar berjalan.

Dan karena hal ini, tentunya debitor atau kreditor lebih suka memilih untuk mengajukan pengangkatan kurator lain ke Pengadilan untuk melaksanakan tugas-tugas pengurusan dan pemberesan atas harta pailit tersebut.
Dalam kajian ini penulis ingin menjabarkan pengampuan yang dilakukan oleh Balai Harta Peninggalan dalam persoalan kepailitan ini, maka efektivitas Balai Harta Peninggalan bisa diketahui, karena tampaknya efektivitas Balai Harta Peninggalan selama ini masih dipertanyakan. Kemudian mendiskripsikan korelasi antara Balai Harta Peninggalan dengan Baitul Mal dalam menangani persoalan kepailitan.

Jenis penelitian skripsi ini adalah peneletian lapangan (Field Research). yaitu riset kegiatan penelitian yang dilakukan di lingkungan masyarakat tertentu baik di lembaga-lembaga organisasi masyarakat (sosial) maupun lembaga pemerintahan. Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif analitik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Berdasarkan indikator-indikator seperti keseimbangan, keadilan, kelangsungan usaha, dan integritas, penulis berpendapat bahwa Balai Harta Peninggalan sebagai pengampu dalam menangani persoalan kepailitan adalah efektif. Dalam hal menangani persoalan kepailitan bahwa Baitul Mal tidak berwenang menangani masalah pengurusan dan pemberesan harta debitor yang pailit. Terkecuali apabila Baitul Mal tersebut telah terdaftar pada Departemen Kehakiman sebagai kurator.

Krisis moneter yang melanda negara kita pada pertengahan tahun 1997 telah memporak-porandakan sendi-sendi perekonomian. Dan dunia usaha merupakan dunia yang paling menderita dan merasakan dampak krisis yang tengah melanda. Selanjutnya tidak sedikit dunia usaha yang mengalami kerugian dan akhirnya gulung tikar. Sedangkan yang masih bertahan pun hidupnya menderita (Widjaja, 2004: 1).

Suatu perusahaan yang dinyatakan pailit, akan berpengaruh bukan hanya pada perusahaan itu saja, melainkan berakibat buruk secara global (Hartini, 2007: 3). Akan ada banyak pihak yang menjadi korban dengan diputuskannya suatu perusahaan itu pailit.
Putusan pernyataan pailit mempunyai dampak besar bagi para kreditor dan debitor pailit tersebut. Hal yang menjadi persoalan selanjutnya adalah bagaimana para kreditor mendapatkan hak-haknya atas harta debitor pailit. Dan siapa yang akan mengurusi pembagian harta debitor pailit kepada para kreditor berdasarkan hak-hak masing-masing. Terhadap persoalan ini, di Indonesia telah diatur bahwa yang berhak melakukan pengurusan dan pembagian harta debitor pailit kepada para kreditor adalah Balai Harta Peninggalan dan kurator .

Diputuskannya seorang debitor menjadi debitor pailit oleh Pengadilan Niaga membawa konsekuensi hukum, yaitu bagi debitor, ia dijatuhkan sita umum terhadap seluruh harta debitor pailit dan hilangnya kewenangan debitor pailit untuk menguasai dan mengurus harta pailitnya. Sementara itu bagi kreditor, ia akan mengalami ketidakpastian tentang hubungan hukum yang ada antara kreditor dengan debitor pailit (Nating, 2005: 57).

Untuk kepentingan tersebut, Undang-Undang Kepailitan menentukan pihak yang akan mengurusi persoalan debitor dan kreditor tersebut, yaitu kurator, yang akan melakukan pengurusan dan pemberesan atas harta pailit serta penyelesaian hubungan hukum antara debitor pailit dengan para kreditornya (Nating, 2005: 57).
Kemudian lebih lanjut dijelaskan bahwa jika debitor atau kreditor tidak mengajukan usul pengangkatan kurator lain kepada Pengadilan, maka Balai Harta Peninggalan yang akan diangkat selaku kurator (pasal 15 ayat (2) UUK 2004). Dalam hal ini kurator yang akan mengurus dan membereskan harta debitor pailit harus diangkat oleh Pengadilan atas permohonan debitor atau kreditor.

Sebelum ada Undang-Undang Kepailitan, dengan diucapkannya keputusan kepailitan oleh Pengadilan Negeri, maka si pailit telah kehilangan haknya untuk mengurus dan menguasai harta kekayaannya, walaupun dia masih menjadi pemilik harta kekayaan tersebut, pengurusan dan penguasaan atas harta kekayaan tersebut telah beralih pada Balai Harta Peninggalan (BHP) yang bertindak sebagai pengampu atau kurator atas harta pailit (pasal 13 ayat (1) PK), dan Balai Harta Peninggalan ditugaskan untuk melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit (pasal 67 ayat (1) PK) dan dalam melaksanakan tugas tersebut Balai Harta Peninggalan diawasi oleh Hakim Komisaris (pasal 63 PK) (Hartini, 2007: 144).

Sebelum lahirnya UUK Tahun 1998, yaitu menurut Peraturan Kepailitan, yang menjadi kurator adalah hanya Balai Harta Peninggalan , yang pada kenyataannya dalam menjalankan tugasnya, peran Balai Harta Peninggalan sangat kecil, maka peran dan fungsi balai harta Peninggalan pada UUK yang baru ini nyaris tidak ada. Karena menurut ketentuan dalam UUK ini, kurator ada dua macam yaitu Balai Harta Peninggalan dan kurator lainnya. Balai Harta Peninggalan baru bertindak selaku kurator apabila debitor atau pihak kreditor tidak mengajukan usul pengangkatan kurator kepada Pengadilan. Itu artinya balai Harta Peninggalan hanya dianggap sebagai kurator cadangan. Karena selama ini, Balai Harta Peninggalan dianggap kurang profesional karena tidak mempunyai tenaga-tenaga ahli yang memadai terutama ketika Balai Harta Peninggalan harus menjalankan perusahaan si pailit agar berjalan. Dan karena hal ini, tentunya debitor atau kreditor lebih suka memilih untuk mengajukan pengangkatan kurator lain ke Pengadilan untuk melaksanakan tugas-tugas pengurusan dan pemberesan atas harta pailit tersebut.

Dalam hukum Islam balai harta dikenal dengan istilah Baitul Mal . Baitul Mal berasal dari bahasa Arab ‘bait’ yang berarti rumah, dan ‘al mal’ yang berarti harta. Jadi secara etimologis Baitul Mal berarti rumah untuk mengumpulkan atau menyimpang harta. Secara terminologis Baitul Mal adalah suatu lembaga atau pihak yang mempunyai tugas khusus menangani segala harta umat baik berupa pendapatan maupun pengeluaran negara (Dahlan (b), 1996).

Fungsi dan eksistensi Baitul Mal sesungguhnya sudah ada sejak masa Rasulullah SAW maupun pada masa kekhalifahan setelah Beliau wafat. Namun secara kongkrit pelembagaan Baitul Mal baru dilakukan pada masa Umar bin Khattab, ketika kebijakan pendistribusian dana yang terkumpul mengalami perubahan. Pada masa Rasulullah SAW hingga kepemimpinan abu Bakar, pengumpulan dana pendistribusian dana zakat serta pungutan-pungutan lainnya dilakukan secara serentak, sehingga para petugas Baitul Mal selesai melaksanakan tugasnya tidak membawa sisa dana untuk disimpan. Sedangkan pada masa Umar bin Khattab, pengumpulan dana ternyata begitu besar sehingga diambil keputusan untuk menyimpan untuk keperluan darurat. Dengan keputusan tersebut, maka Baitul Mal secara resmi dilembagakan, dengan maksud awal untuk pengelolaan dana tersebut.

Berangkat dari latar belakang tersebut di atas, maka penulis ingin menyajikan suatu karya ilmiah yang membahas mengenai Balai Harta Peninggalan sebagai pengampu kepailitan, yang dalam hal ini penulis melakukan observasi pada Balai Harta Peninggalan Semarang.

Baca Selengkapnya..

Senin, 15 Maret 2010

KONSEKUENSI YURIDIS DALAM HAL BANK GAGAL MENCAPAI MODAL INTI MINIMUM SEBAGAI IMPLEMENTASI ARSITEKTUR PERBANKAN INDONESIA

Dengan memperhatikan tantangan dunia global, bank-bank di Indonesia dituntut untuk dapat bersaing tidak hanya dengan bank-bank nasional, tetapi bank-bank Indonesia harus siap berhadapan dan bersaing baik secara langsung maupun tidak langsung dengan bank yang berskala internasional. Untuk menghadapi itu, Bank Indonesia (BI) mengeluarkan Arsitektur Perbankan Indonesia (API). Dalam Pilar satu API disyaratkan bahwa seluruh bank umum harus memenuhi Modal Inti minimum Rp. 100 miliar pada akhir tahun 2010. Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis mengambil permasalahan dalam upaya hukum bank untuk mencapai pemenuhan Modal Inti minimum sebagai implementasi API, strategi BI dalam menciptakan dunia perbankan Indonesia berdasarkan Modal Inti minimum yang telah ditetapkan dalam API, serta konsekuensi yuridis yang akan didapatkan bank yang gagal mencapai Modal Inti minimum sesuai visi API.

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan hukum ini ialah melalui pendekatan yuridis normatif, yaitu suatu pendekatan dengan mengkaji, menguji dan menerapkan asas-asas hukum pada peraturan perundang-undangan yang berlaku ke dalam permasalahan yang terjadi pada kegiatan dunia perbankan, khususnya mengenai Modal Inti minimum bank. Spesifikasi penelitian yang digunakan penulis adalah deskriptif analisis berupa penggambaran, penelaahan dan penganalisaan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku. Tahapan penelitian terdiri atas penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa upaya-upaya hukum bank dalam hal mencapai pemenuhan Modal Inti minimum dilakukan secara organik dan penambahan modal dari para pemegang saham pengendali dan ini menunjukkan bahwa konsekuensi yuridis yang diinginkan bank adalah kemandirian. Di lain pihak BI mengeluarkan signal percepatan konsolidasi dan berbagai macam insentif dalam rangka konsolidasi perbankan dan ini menunjukkan konsekuensi yuridis yang diinginkan BI adalah merger atau konsolidasi. Konsekuensi yang sesuai dengan visi API adalah bagaimana agar dapat menciptakan suatu bank yang sehat dan kuat. Bank yang sehat dan kuat adalah bank yang memenuhi seluruh unsur kiteria tingkat kesehatan bank dan mampu untuk melakukan kegiatan operasional perbankan secara normal serta mampu untuk memenuhi semua kewajibannya dengan baik dengan cara-cara yang sesuai dengan peraturan perbankan yang berlaku.

Indonesia adalah negara berkembang yang saat ini sedang menjalankan pembangunan nasional. Pembangunan nasional merupakan suatu kegiatan untuk mencapai sasaran di masa depan yang menyangkut transformasi dari sikap dan cara-cara yang memperhatikan keseluruhan aspek kehidupan dalam keterkaitan serta implikasinya antara yang satu dengan yang lainnya (holistik), dengan menggunakan strategi dan pendekatan serta memperhatikan potensi dan peluang yang terbuka maupun permasalahan dan kendala-kendala yang menghadang.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa suatu pembangunan nasional harus bersifat menyeluruh (holistik) sebagaimana yang diungkapkan oleh Presiden Bank Dunia Wolfensohn. Salah satu bentuk pembangunan nasional adalah pembangunan perbankan yang sehat dan kuat, yang mampu mendorong pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan .
Lembaga perbankan merupakan inti dari sistem keuangan dari setiap negara . Mengingat peranannya yang sangat penting maka dalam rangka mencapai tujuan pembangunan nasional tidak berlebihan apabila lembaga perbankan Indonesia ditempatkan begitu strategis, sehingga tidak berlebihan pula apabila terhadap lembaga perbankan tersebut pemerintah mengadakan pembinaan dan pengawasan yang ketat.

Semuanya itu didasari dengan landasan pemikiran bahwa agar lembaga perbankan di Indonesia dapat berfungsi secara efisien, sehat, wajar, kuat, serta mampu melindungi secara baik dana yang telah dititipkan masyarakat kepada bank, serta mampu menyalurkan dana masyarakat tersebut ke bidang-bidang yang produktif bagi pencapaian sasaran pembangunan Indonesia yang dicita-citakan .
Dengan memperhatikan tantangan dunia global, bank-bank di Indonesia dituntut untuk dapat bersaing tidak hanya dengan bank-bank nasional, bahkan bank-bank di Indonesia harus siap berhadapan dan bersaing baik secara langsung maupun secara tidak langsung dengan bank yang berskala internasional.

Salah satu solusi demi terciptanya kondisi perbankan Indonesia yang sehat, kuat dan stabil dalam menghadapi tantangan global saat ini adalah dengan modal yang kuat. Karena lembaga perbankan selain mempunyai posisi yang sangat strategis dalam kehidupan perekonomian suatu negara, perkembangan jaman pun telah mengarahkan industri perbankan pada penerapan konsep universal banking yang menggabungkan kegiatan antara bank komersial dengan bank investasi.

Konsep universal banking mempunyai pengertian bahwa bank dimungkinkan melakukan kegiatan jasa keuangan secara menyeluruh, tidak hanya terbatas pada produk dan jasa tradisional perbankan saja, melainkan jasa produk dan jasa keuangan lainnya seperti penyertaan modal, investasi, leasing, dan sebagainya.
Dengan adanya universal banking ini, maka bank-bank di Indonesia akan menjadi supermarket banking yang menyediakan segala kebutuhan finansial nasabahnya dalam satu atap. Dan yang menjadi syarat bagi bank untuk dapat menjalankan konsep universal banking tersebut, yaitu bahwa bank harus memiliki modal yang kuat dan memadai.

Mengingat tantangan itu semua, Indonesia melalui Gubernur Bank Indonesia (BI) mengumumkan implementasi Arsitektur Perbankan Indonesia (API) pada tanggal 9 Januari 2004. API merupakan suatu kerangka dasar sistem perbankan Indonesia yang bersifat menyeluruh dan memberikan arah, bentuk, dan tatanan industri perbankan untuk rentang waktu beberapa tahun kedepan.
Konsep API dibangun oleh BI berdasarkan rekomendasi dari The Basel Committee on Banking Supervision . Di dalam pendekatan terbarunya, Basel Committee on Banking Supervision menyarankan tiga pilar utama, yaitu persyaratan modal minimum, proses pengawasan, dan persyaratan disiplin pasar.

Arah kebijakan pengembangan industri perbankan dimasa datang oleh API dilandasi oleh visi mencapai suatu sistem perbankan yang sehat, kuat dan efisien guna menciptakan kestabilan sistem keuangan dalam rangka membantu dan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
Secara keseluruhan pelaksanaan program implementasi API terdiri atas enam pilar, yang terdiri dari stuktur perbankan yang sehat, sistem pengaturan yang efektif, industri perbankan yang kuat, menciptakan Good Corporate Governance (GCG), industri pendukung yang mencukupi dan perlindungan konsumen. Salah satu pilar dari enam pilar yang menjadi agenda perbankan kedepan adalah pilar pertama yang menyangkut struktur perbankan yang sehat. Struktur perbankan yang sehat tersebut merupakan inti dari semua permasalahan perbankan karena baik dan buruknya industri perbankan akan banyak ditentukan oleh bagus tidaknya struktur yang dibuat.

Salah satu program API yang terletak pada pilar satu mempersyaratkan Modal Inti minimum bagi bank umum, termasuk BPD (Bank Pembangunan Daerah) menjadi 100 miliar selambat-lambatnya pada akhir tahun 2010. Untuk implementasi program ini dilaksanakan secara bertahap, yang sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 7/15/PBI/2005 tentang Jumlah Modal Inti Minimum Bank Umum.

Keberadaan API didalam perekonomian nasional sangat jelas karena API memiliki tujuan untuk membantu mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi 5%-6% setiap tahunnya, diperlukan dukungan kredit perbankan sebesar 22% setiap tahunnya. Namun demikian, potensi permodalan perbankan saat ini hanya sanggup untuk mendorong pertumbuhan kredit maksimum 16% saja. Sehingga untuk mencapai target pertumbuhan kredit sebesar 22% setiap tahunnya diperlukan adanya penambahan modal perbankan.

Dengan demikian bank-bank yang memiliki tingkat permodalan yang masih rendah, khususnya bank-bank dengan modal dibawah Rp. 100 Miliar, perlu ditingkatkan tingkat modalnya menjadi minimum Rp 100 Miliar sebagaimana dikonsepkan dalam API. Menurut sumber data Biro Riset Infobank (birI) dalam tabel kelompok bank berdasarkan API, jumlah bank dengan modal dibawah Rp. 100 Miliar pada posisi Juni 2006 terdapat 42 bank . Bahkan beberapa bank hanya memiliki Modal di bawah Rp. 50 Miliar, diantaranya adalah Bank Credit Lyonnais Indonesia, BPD Kalimantan Tengah, Bank Nusa Tenggara Timur, BPD Sulawesi Tenggara, BPD Bengkulu, Bank Dipo Internasional, dan Bank Tugu.
Maka sejak implementasi API oleh BI, seluruh bank-bank umum yang berada di Indonesia yang memiliki Modal Inti dibawah Rp. 100 Miliar harus berupaya untuk mencapai Modal Inti paling kurang Rp. 100 Miliar yang pelaksanaannya dilakukan secara bertahap yaitu bahwa bank harus memiliki Modal Inti paling kurang Rp. 80 Miliar pada akhir tahun 2007, dan dilanjutkan dengan pemenuhan Modal Inti paling kurang Rp. 100 Miliar pada akhir tahun 2010.

Permasalahan yang akan timbul dari proses implementasi API, khususnya bagi bank yang mempunyai Modal Inti dibawah Rp 100 Miliar, yaitu bagaimana jika upaya-upaya yang telah dijalankan oleh bank untuk pemenuhan Modal Inti minimum tersebut ternyata mengalami kegagalan pada waktu yang telah ditetapkan dalam API, dan bagaimanakah konsekuensi yang terdapat dalam PBI nomor 7/15/PBI/2005 yang akan didapatkan oleh bank dikaitkan dengan tingkat kesehatan bank dan visi API, serta bagaimanakah strategi dan wujud realisasi BI sebagai pengawas dalam hal mencoba untuk menciptakan suatu keadaan dunia perbankan di Indonesia dengan Modal Inti minimum Rp 100 Miliar tepat pada waktunya, yaitu pada akhir tahun 2010 sebagai implementasi API, maka penulis mencoba untuk memaparkannya melalui penulisan skripsi ini yang berjudul:
“KONSEKUENSI YURIDIS DALAM HAL BANK GAGAL MENCAPAI MODAL INTI MINIMUM SEBAGAI IMPLEMENTASI ARSITEKTUR PERBANKAN INDONESIA”

Baca Selengkapnya..

Pengaruh Pemberdayaan Masyarakat Pada Yayasan Bina Masyarakat Sejahtera (BMS) Terhadap Pengembangan Ekonomi Rakyat

Lembaga swadaya masyarakat adalah sebuah organisasi massa yang bergerak pada program-program penguatan masyarakat, serta memainkan peran yang berarti dalam proses memperkuat gerakan demokrasi di Indonesia. Visi dari LSM adalah memperkuat masyarakat sipil yang masih lemah dengan program-program kemasyarakatan yang mendasar dan dengan aktivitas advokasi pada tingkat paling bawah.

Yayasan Bina Masyarakat Sejahtera (BMS) adalah salah satu LSM di wilayah Bekasi yang bermitra dengan masyarakat dan menjalankan program pemberdayaan masyarakat. Yayasan ini banyak membantu keluarga anak jalanan, keluarga buruh kecil, keluarga usaha kecil, masyarakat yang tertimpa musibah dan masyarakat yang tergolong berpendapatan rendah lainnya. Yayasan BMS yang kini memasuki tahun ke-8 telah dipercaya oleh Dinas Sosial Propinsi Jawa Barat, kantor Menteri Taskin, yayasan Mitra Mandiri Jakarta, kedutaan New Zealand, Tetre des Hommes Belanda, Mercy Corps Internasional Jakarta, PT Indofood, PT Sosro, PT Samsung, PT Indosae, City Bank Peduli, Konsorsium LSM Delta-New Zealand, JARI, ICW, Smeru dan berbagai organisasi di Bekasi dan sekitarnya. Untuk melakukan pembangunan perumahan, perbaikan jalan, pemeriksaan kesehatan dan pengobatan, bantuan pangan, serta pendampingan anak-anak jalanan.

Penelitian tentang program pemberdayaan masyarakat yang dilaksanakan yayasan BMS ini perlu dilakukan, karena adanya dampingan dalam program pemberdayaan masyarakat yaitu studi dan kajian masalah perkotaan, pedesaan, kinerja legislatif tingkat II, pembangunan desa dan kota, kualitas pelaksanaan ekonomi daerah dan permasalahan perumahan. Untuk program perumahan bertumpu pada kelompok (P2BPK) dan membentuk forum kajian pembangunan Bekasi (FKPB) dan sebagai mitra dialog perumusan kabijakan publik.

Alasan lain dilaksanakan penelitian program pemberdayaan masyarakat dikarenakan program ini sebagai kegiatan yang diarahkan untuk memperbesar akses masyarakat dalam mencapai kondisi sosial-budaya terutama ekonomi yang lebih baik, sehingga masyarakat diharapkann menjadi lebih mandiri dengan kualitas kehidupan dan kesejahteraan yang lebih baik pula. Berdasarkan fenomena di atas maka, peneliti memilih karya tulis ilmiah (skripsi) dengan judul “Pengaruh Pemberdayaan Masyarakat Pada Yayasan Bina Masyarakat Sejahtera (BMS) Terhadap Pengembangan Ekonomi Rakyat Desa Sukakarya Bekasi.”

Dalam rangka mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat, pembangunan ekonomi teramat penting. UUD 1945 juga menempatkan pasal 33 yang jelas merupakan arah bagi susunan perekonomian bangsa bagi kesejahteraan sosial. Hal ini menunjukkan kedua aspek tersebut tidak dapat dipisahkan. Dimana untuk membangun kesejahteraan sosial, sistem ekonomi yang terbentuk sangat menentukan.

Banyak konsep-konsep pembangunan di negara berkembang menemui kegagalan karena memisahkan pembangunan sosial dari pembangunan ekonomi. Sektor-sektor yang selama ini dikelompokkan dalam bidang sosial seperti pendidikan dan kesehatan, menjadi terabaikan dan terkalahkan oleh sektor-sektor dalam kelompok ekonomi, seperti pembuatan jalan. Dalam sistem pembangunan nasional pun dikategorisasi itu diikuti sehingga ada kesan bahwa sektor-sektor sosial kurang diperhatikan.

Keberhasilan negara-negara industri baru, terjadi justru karena prioritas yang diberikan pada bidang pendidikan dan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) pada umumnya.
Penekanan pada kedua bidang diatas untuk selanjutnya, mengembangkan pemikiran-pemikiran mengenai pembangunan yang berkerakyatan.

Dalam bidang ekonomi semangat kerakyatan tegas diamanatkan demokrasi ekonomi. Demokrasi ekonomi adalah kegiatan ekonomi dilaksanakan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Kemajuan yang ingin diupayakan melalui pembangunan nasional khususnya pembangunan ekonomi, haruslah meningkatkan kemakmuran atas dasar keadilan sosial.
Arah perkembangan ekonomi seperti yang dikehendaki oleh konstitusi itu tidak dapat terjadi dengan sendirinya. Artinya kemajuan yang diukur melalui pembangunan nasional menjamin terjadinya peningkatan kesejahteraan yang merata, dengan proses pembangunan yang terus berlanjut, justru ketidak seimbangan dalam kemampuan dan kesempatan memanfaatkan peluang mengakibatkan makin melebarnya jurang kesenjangan.

Penelitian ini menggambarkan program atau strategi pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan ekonomi kerakyatan sehingga terjadi peningkatan kesejahteraan yang merata.
Dasar pemikiran penelitian ini adalah bahwa upaya yang dilakukan harus langsung diarahkan pada akar persoalannya, yaitu meningkatkan kemampuan ekonomi rakyat. pemberdayaan masyarakat merupakan upaya untuk memandirikan masyarakat lewat perwujudan potensi kemampuan yang mereka miliki, konsep pemberdayaan masyarakat sebagai suatu pemikiran, tidak dapat dilepaskan dari paradigma pembangunan yang memberikan kedaulatan kepada rakyat untuk menentukan pilihan kegiatan yang paling sesuai bagi kemajuan diri mereka masing-masing. Setiap upaya pembangunan perlu dirahkan pada penciptaan suatu lingkungan yang memungkinkan masyarakat untuk menikmati kehidupan yang jauh lebih baik dan sekaligus memperluas pilihan yang dapat dilakukan oleh setiap anggota masyarakat. Pemikiran itu pada dasarnya menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama pembangunan.

Konsep pemberdayaan yang menekankan pada kemadirian ini diperlukan adanya interaksi antara masyarakat, pemerintah daerah dan pihak-pihak terkait dengan perusahaan, sehingga terciptanya kerjasama yang harmonis dan kondusif.
Lembaga swadaya masyarakat adalah sebuah organisasi massa yang bergerak pada program-program penguatan masyarakat, serta memainkan peran yang berarti dalam proses memperkuat gerakan demokrasi di Indonesia. Visi dari LSM adalah memperkuat masyarakat sipil yang masih lemah dengan program-program kemasyarakatan yang mendasar dan dengan aktivitas advokasi pada tingkat paling bawah.

Yayasan Bina Masyarakat Sejahtera (BMS) adalah salah satu LSM di wilayah Bekasi yang bermitra dengan masyarakat dan menjalankan program pemberdayaan masyarakat. Yayasan ini banyak membantu keluarga anak jalanan, keluarga buruh kecil, keluarga usaha kecil, masyarakat yang tertimpa musibah dan masyarakat yang tergolong berpendapatan rendah lainnya. Yayasan BMS yang kini memasuki tahun ke-8 telah dipercaya oleh Dinas Sosial Propinsi Jawa Barat, kantor Menteri Taskin, yayasan Mitra Mandiri Jakarta, kedutaan New Zealand, Tetre des Hommes Belanda, Mercy Corps Internasional Jakarta, PT Indofood, PT Sosro, PT Samsung, PT Indosae, City Bank Peduli, Konsorsium LSM Delta-New Zealand, JARI, ICW, Smeru dan berbagai organisasi di Bekasi dan sekitarnya. Untuk melakukan pembangunan perumahan, perbaikan jalan, pemeriksaan kesehatan dan pengobatan, bantuan pangan, serta pendampingan anak-anak jalanan.

Penelitian tentang program pemberdayaan masyarakat yang dilaksanakan yayasan BMS ini perlu dilakukan, karena adanya dampingan dalam program pemberdayaan masyarakat yaitu studi dan kajian masalah perkotaan, pedesaan, kinerja legislatif tingkat II, pembangunan desa dan kota, kualitas pelaksanaan ekonomi daerah dan permasalahan perumahan. Untuk program perumahan bertumpu pada kelompok (P2BPK) dan membentuk forum kajian pembangunan Bekasi (FKPB) dan sebagai mitra dialog perumusan kabijakan publik.

Alasan lain dilaksanakan penelitian program pemberdayaan masyarakat dikarenakan program ini sebagai kegiatan yang diarahkan untuk memperbesar akses masyarakat dalam mencapai kondisi sosial-budaya terutama ekonomi yang lebih baik, sehingga masyarakat diharapkann menjadi lebih mandiri dengan kualitas kehidupan dan kesejahteraan yang lebih baik pula. Berdasarkan fenomena di atas maka, peneliti memilih karya tulis ilmiah (skripsi) dengan judul “Pengaruh Pemberdayaan Masyarakat Pada Yayasan Bina Masyarakat Sejahtera (BMS) Terhadap Pengembangan Ekonomi Rakyat Desa Sukakarya Bekasi.”

Baca Selengkapnya..

Sistem dan Prosedur Penanganan dan Penyelesaian Pengaduan Nasabah Produk Kredit dalam Mewujudkan Pelayanan Prima

Pada era perekonomian yang semakin mengglobal saat ini, faktor terpenting agar perusahaan tersebut dapat bertahan dalam dunia bisnis yang semakin kuat daya saingnya adalah dengan memberikan kemudahan pelayanan serta meningkatkan kualitas pelayanan terhadap kepuasan pelanggan. Hak-hak pelanggan yang diabaikan atau tidak terlaksana dengan baik akan mengakibatkan perselisihan antara pelanggan dan perusahaan dengan munculnya pengaduan atau klaim. Untuk itu, PT. Bank Tabungan Negara (Persero) Cabang Malang sebagai perusahaan BUMN yang bergerak di bidang perbankan, saat ini berusaha menjalankan fungsi pelayanannya dengan baik dan berusaha semaksimal mungkin memberikan yang terbaik bagi nasabah dan masyarakat dengan mematuhi Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/7/PBI/2005 dan perubahannya yaitu Nomor 10/10/PBI/2008 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah.

Tujuan penulisan Laporan Praktek Kerja Nyata ini adalah untuk mengetahui gambaran umum perusahaan, sistem dan prosedur penanganan dan penyelesaian pengaduan nasabah produk kredit dalam mewujudkan pelayanan prima pada PT. Bank Tabungan Negara (Persero) Cabang Malang. Sedangkan manfaat penulisan Laporan Praktek Kerja Nyata adalah terbinanya hubungan antar Instansi atau Perusahaan dengan Lembaga Pendidikan Program Diploma III Kesekretariatan Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya Malang dan mahasiswa mendapatkan pengalaman dan ketrampilan dalam dunia kerja khususnya dibidang kesekretariatan.

Selama Praktek Kerja Nyata, penulis mengetahui kekurangan penanganan dan penyelesaian pengaduan nasabah produk kredit pada bagian Loan Service Bank BTN Cabang Malang, antara lain kurang mengadakan sosialisasi mengenai alur dan prosedur penanganan pengaduan nasabah serta kurangnya kelengkapan administrasi pengaduan. Sedangkan kelebihannya adalah penanganan dan penyelesaian pengaduan sudah cukup terselesaikan dengan cepat dengan memenuhi kriteria standardisasi minimum pelayanan yang dibuat oleh bank, serta bank telah berusaha meningkatkan mutu pelayanan yang baik dengan memberikan pelatihan khusus/training kepada karyawan.

Adapun saran yang diberikan penulis adalah Bank BTN Cabang Malang perlu mengadakan sosialisasi mengenai alur dan prosedur penanganan pengaduan nasabah kepada para nasabah, yaitu dapat berupa brosur di pintu masuk. Bank BTN juga sebaiknya meengkapi segala jenis kelengkapan administrasi pengaduan nasabah dan membuka layanan telepon 24 jam bebas pulsa guna meningkatkan pelayanan.

Kondisi perekonomian Indonesia yang semakin mengglobal menuntut setiap perusahaan baik BUMN (Badan Usaha Milik Negara) maupun swasta, tak terkecuali lembaga perbankan untuk mempunyai daya saing tinggi dengan memaksimalkan pemanfaatan sumber daya yang dimiliki. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan kualitas pelayanan terhadap kepuasan pelanggan, karena pelanggan merupakan salah satu kunci bagi keberhasilan perusahaan.

Keberhasilan perusahaan adalah jika perusahaan dapat mempertahankan pelanggan, sebab perusahaan tidak akan berarti tanpa pelanggan. Sedang di dalam pelaksanaan kegiatan usaha perbankan sendiri, seringkali hak-hak pelanggan / nasabah tidak dapat terlaksana dengan baik sehingga menimbulkan friksi antara nasabah dengan bank yang ditunjukkan dengan munculnya pengaduan nasabah. Pengaduan nasabah ini apabila tidak diselesaikan dengan baik oleh bank berpotensi menjadi perselisihan atau sengketa yang pada akhirnya akan dapat merugikan nasabah dan / atau bank. Tidak adanya mekanisme standard dalam penanganan pengaduan nasabah selama ini telah menyebabkan perselisihan atau sengketa antara nasabah dengan bank cenderung berlarut-larut, antara lain ditunjukkan dengan cukup banyaknya keluhan-keluhan nasabah di berbagai media. Munculnya keluhan-keluhan yang tersebar kepada publik melalui berbagai media tersebut dapat menurunkan reputasi bank di mata masyarakat dan berpotensi menurunkan kepercayaan masyarakat pada lembaga perbankan apabila tidak segera ditanggulangi.
Oleh karena itu, untuk mengurangi publikasi negatif terhadap operasional bank dan menjamin terselenggaranya mekanisme penyelesaian pengaduan nasabah secara efektif, maka Bank Indonesia telah menetapkan standard minimum mekanisme penyelesaian pengaduan nasabah dalam Peraturan Bank Indonesia yaitu Nomor 7/7/PBI/2005 dan perubahannya, yaitu Nomor 10/10/PBI/2008 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah yang wajib dilaksanakan oleh seluruh bank.

Dengan adanya peraturan tersebut maka diharapkan akan meningkatkan persaingan antar bank dan tak lupa memberikan kemudahan dan kepuasan bagi para nasabahnya. Tiap lembaga bank mempunyai prosedur tersendiri untuk menciptakan kepuasan nasabah demi mewujudkan pelayanan prima pada perusahaannya. Kepuasan memegang peranan penting bagi citra perusahaan, karena perusahaan yang menjadikan kepuasan pelanggan sebagai nilai tambah dan tanggap menghadapi perubahan akan mampu memenangkan persaingan perekonomian global. Dengan demikian akan terwujud kelancaran kegiatan dan tercapainya tujuan perusahaan.

PT. Bank Tabungan Negara (Persero) adalah salah satu BUMN Indonesia yang berbentuk perseroan terbatas. BTN yang bergerak di bidang jasa keuangan perbankan ini, dalam hal pelayanan nasabah telah meraih juara pertama Customer Service Championship 2004 untuk kategori perusahaan BUMN dan telah menyisihkan 89 tim lainnya. BTN memiliki Section Ritel Service, yaitu bagian yang menjamin keakuratan pelayanan yang tinggi dalam bidang Loan Service, Customer Service, Teller Service dan Kantor Kas. Oleh sebab tersebut di atas, penulis tertarik untuk mengetahui dan mempelajari lebih lanjut mengenai system dan prosedur penanganan dan penyelesaian pengaduan nasabah khususnya pada bagian Loan Service (Pelayanan Kredit) guna menciptakan kepuasan nasabah dan mewujudkan pelayanan prima pada PT. Bank Tabungan Negara (Persero) Cabang Malang, dalam bentuk laporan yang berjudul: “Sistem dan Prosedur Penanganan dan Penyelesaian Pengaduan Nasabah Produk Kredit dalam Mewujudkan Pelayanan Prima pada PT. Bank Tabungan Negara (Persero) Cabang Malang”.

Baca Selengkapnya..