Jika pemerintah tidak segera mendukung dengan kelembagaan dan aturan yang memadai, bukan tidak mungkin efek positif fatwa bunga bank haram di tanah air justru dinikmati pihak lain.
Kita teramat bersyukur, ulama kita tetap tidak lelah bersuara. Untuk kali ketiganya (Tahun 1990, 2000 dan 2003), sejak 15 tahun terakhir, kalangan ulama di tanah air tetap menyerukan; “bunga bank haram!,” secara konsisten. Tugas yang sedemikian itu tidaklah ringan. Soal didengarkan dan dipatuhi oleh umat, itu persoalan lain lagi. Meskipun kalah oleh hingar-bingarnya persiapan pemilu dan calon presiden, masalah politisi hitam, kasus BNI dan BRI, betapapun fatwa haramnya bunga bank cukup menyentak perhatian masyarakat. Tulisan ini ingin menyorot implikasi teknis Rakernas MUI 2003 tentang bunga bank haram, kaitannya dengan perbankan Islam dan sistem keuangan Islam di tanah air sendiri.
Dari Cetak Biru ke Rencana Aksi
Jika kita andaikan, dalam waktu lima sampai 10 tahun ke depan, gema fatwa (ijma) Rakernas MUI, (14-16 Desember 2003) tentang bunga bank haram (BBH) ini direspon umat, maka waktu bagi perbankan Islam dan sistem keuangan Islam itu sendiri untuk berbenah tidaklah panjang. Perbankan Islam yang terdiri atas Bank Syariah, Bank Konversi ke Syariah, juga Cabang Syariah akan menghadapi berbagai kendala antara lain; teknis, alokasi atau gabungan keduanya. Ketika jumlah dana yang mampu diserap dari pasar semakin membesar, maka akan mulai memerlukan bantuan lini ke dua, katakanlah; Pasar Saham Islam, Pasar Obligasi/Bond Islam dan atau portofolio jangka panjang lainnya. Jika pemerintah juga tidak melakukan antisipasi, dengan memberikan dukungan kelembagaan dan aturan yang cepat, maka bukan tidak mungkin efek positif fatwa bunga bank haram di tanah air, justru dinikmati oleh pihak lain.
Kalau reaksi yang bakal terjadi adalah sebaliknya, katakan dalam waktu lima sampai 10 tahun ke depan, seruan para ulama tentang haramnya bunga bank tidaklah bergema dan tidak mendapat respon memadai dari umat, maka perbankan Islam dan sistem keuangan Islam menghadapi tantangan jauh lebih berat. Di sinilah, pentingnya sebuah cetak biru berikut skenario pengembangan sistem perbankan Islam dan sistem keuangan Islam sampai ke tingkat rencana aksi, setidaknya untuk perspektif 10 tahun ke depan.
Logika Ekonomi juga Logika Islami
Seperti kita tahu, selain Bahrain ada beberapa pusat keuangan di dunia, yang menyediakan jasa keuangan islami yang bersifat global, dan dalam skala besar. Bersaing dengan itu, Malaysia telah memiliki instrumen lini kedua berupa; pasar surat berharga islami, obligasi/bond islami, juga surat utang jangka panjang lainnya, yang jika di totalkan tidak kurang tersedia 40 jenis produk tersedia di pasar primer/sekunder. Sekarang mereka sedang menuju ke lini ke tiga yang lebih canggih dan didukung teknologi informasi yang sangat baik yang tergabung dalam strategi dan skenario ‘Halal Malaysia’. Tujuannya tidak lain, menangkap semua dana-dana yang bergerak amat cepat dengan tidak lagi peduli pada batas idiologi dan batas negara. Terselip juga di situ upaya mereka memikat dana yang berasal dari negara muslim kaya, yang mengalir deras ke berbagai penjuru, menyusul memburuknya pasar di Amerika-Eropah dan sentimen atas negara adikuasa tersebut.
Tidak kalah gesit dengan Malaysia, Thailand minggu pertama Desember 2003, telah juga meresmikan mulai beroperasinya Bank Islam di negara tersebut. Untuk tahap pertama ini akan di mulai di delapan provinsi belahan selatan negara tersebut, untuk selanjutnya segera menyusul di provinsi lain. Operasi ini didukung penuh oleh bank sentral mereka, dengan penyediaan dana awal masing-masing sebesar 1 juta bath.
Menariknya, semua bank tersebut langsung beroperasi sebagai full Islamic bank, bukan cabang dari bank konvensional yang membuka unit Islami (berupa islamic window). Meskipun penduduk beragama Islamnya hanya 6 persen, Thailand bergerak gesit untk menangkap peluang jangka panjang ini. Thailand dengan visi bisnis telah mempersiapkan strategi jitu, dengan mengembangkan sektor manufakturnya khususnya di daerah selatan yang dihuni umat muslim. Dengan semboyan; kawasan selatan adalah kawasan produksi produk-produk halal, kawasan ini dikembangkan sebagai sentra produksi produk-produk halal yang beroriensi ekspor. Investasi langsung di selatan, berupa pendirian pabrik-pabrik baru, didukung skim keuangan Islam yang dananya tersedia banyak dan deregulasi sektor investasi, ternyata menarik minat banyak investor Eropa dan Jepang dari Timur Tengah, Cina dan bahkan Malaysia.
Rekonstruksi dan Kerja keras
Tidak bisa tidak, momentum dari gong yang telah dicanangkan MUI tentang bunga bank haram ini perlu mendapat respon semua pihak. Lebih khusus lagi dari lingkaran yang terkait langsung dengan perbankan Islam dan sistem keuangan Islam di tanah air. Pemerintah dan segenap komponen organisasi massa dan organisasi sosial serta individu-individu dan akademisi ditunggu umat untuk saling bergandeng melakukan sinergi. Konstruksi dan bangunan ekonomi umat yang ada telah memerlukan kaji ulang dan kaji tindak, untuk itulah kita bekerja dan berpacu dengan waktu. Jika MUI menjalankan tugas dan senantiasa memonitor setiap perkembangan, maka tugas kita di bawahnya mengambil porsi sesuai dengan kompetensi masing-masing. Yang diperlukan adalah sebuah rekonstruksi; meliputi aspek yang khusus ke yang umum atau sebaliknya.
Kerja keras, adalah solusi yang mulai harus dijadikan nafas baru dalam mengisi ketertinggalan kita. Jika momentum tersebut kita biarkan lepas, maka bukan tidak mungkin dana-dana yang ada sekarang ini, bergerak lepas menuju pasar regional (yang juga berprinsip Islami), atau terbang jauh ke wilayah lain. Jangan salahkan Malaysia, juga Thailand dan sekarang yang sedang mengeliat adalah Filipina serta Brunei yang telah mengambil ancang-ancang.
Belajar dari pengalaman
“Lihat Indonesia suka yang besar-besar, namun melupakan detail”, demikian sungut salah seorang teman pelajar dari Thailand, saat diskusi tentang “South East Asia’s Misunderstood Miracle” di kelas debat, suatu pagi bulan Agustus 2003. Selaku warganegara Indonesia, jelas saya tidak senang, karena seberapa jauh sih ia kenal Indonesia. Namun sejujurnya, kawan dari Thailand juga benar. Kebiasaan kita kepada yang besar-besar saja, dan melupakan detail demi detail telah membuat kita lengah dari sifat yang hati-hati dan berkali-kali terbukti berakhir dengan kegagalan. Salah satu contoh adalah industrialisasi yang diperkenalkan awal 1980an, dengan mengebu dilakukan tanpa memikirkan keterkaitan dari hulu ke hilir, akhirnya terbukti gagal. Demikian juga dengan swasembada beras. Contoh-contoh di masa lalu itu menjadi pelajaran berharga pada kita untuk tidak terulang kembali. Kita tidak ingin perbankan Islam dan sistem keuangan Islam mengalami nasib yang sama dengan hal tersebut, karena itu kita peduli.
Wise Word
15 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan berikan komentar anda