Sebelum lahirnya UUK Tahun 1998, yaitu menurut Peraturan Kepailitan, yang menjadi kurator adalah hanya Balai Harta Peninggalan, yang pada kenyataannya dalam menjalankan tugasnya, peran balai Harta Peninggalan sangat kecil, maka peran dan fungsi balai harta Peninggalan pada UUK yang baru ini nyaris tidak ada. Karena menurut ketentuan dalam UUK ini, kurator ada dua macam yaitu balai Harta Peninggalan dan kurator lainnya. Balai Harta Peninggalan baru bertindak selaku kurator apabila debitor atau pihak kreditor tidak mengajukan usul pengangkatan kurator kepada Pengadilan. Itu artinya balai Harta Peninggalan hanya dianggap sebagai kurator cadangan. Karena selama ini, Balai Harta Peninggalan dianggap kurang profesional karena tidak mempunyai tenaga-tenaga ahli yang memadai terutama ketika Balai Harta Peninggalan harus menjalankan perusahaan si pailit agar berjalan.
Dan karena hal ini, tentunya debitor atau kreditor lebih suka memilih untuk mengajukan pengangkatan kurator lain ke Pengadilan untuk melaksanakan tugas-tugas pengurusan dan pemberesan atas harta pailit tersebut.
Dalam kajian ini penulis ingin menjabarkan pengampuan yang dilakukan oleh Balai Harta Peninggalan dalam persoalan kepailitan ini, maka efektivitas Balai Harta Peninggalan bisa diketahui, karena tampaknya efektivitas Balai Harta Peninggalan selama ini masih dipertanyakan. Kemudian mendiskripsikan korelasi antara Balai Harta Peninggalan dengan Baitul Mal dalam menangani persoalan kepailitan.
Jenis penelitian skripsi ini adalah peneletian lapangan (Field Research). yaitu riset kegiatan penelitian yang dilakukan di lingkungan masyarakat tertentu baik di lembaga-lembaga organisasi masyarakat (sosial) maupun lembaga pemerintahan. Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif analitik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Berdasarkan indikator-indikator seperti keseimbangan, keadilan, kelangsungan usaha, dan integritas, penulis berpendapat bahwa Balai Harta Peninggalan sebagai pengampu dalam menangani persoalan kepailitan adalah efektif. Dalam hal menangani persoalan kepailitan bahwa Baitul Mal tidak berwenang menangani masalah pengurusan dan pemberesan harta debitor yang pailit. Terkecuali apabila Baitul Mal tersebut telah terdaftar pada Departemen Kehakiman sebagai kurator.
Krisis moneter yang melanda negara kita pada pertengahan tahun 1997 telah memporak-porandakan sendi-sendi perekonomian. Dan dunia usaha merupakan dunia yang paling menderita dan merasakan dampak krisis yang tengah melanda. Selanjutnya tidak sedikit dunia usaha yang mengalami kerugian dan akhirnya gulung tikar. Sedangkan yang masih bertahan pun hidupnya menderita (Widjaja, 2004: 1).
Suatu perusahaan yang dinyatakan pailit, akan berpengaruh bukan hanya pada perusahaan itu saja, melainkan berakibat buruk secara global (Hartini, 2007: 3). Akan ada banyak pihak yang menjadi korban dengan diputuskannya suatu perusahaan itu pailit.
Putusan pernyataan pailit mempunyai dampak besar bagi para kreditor dan debitor pailit tersebut. Hal yang menjadi persoalan selanjutnya adalah bagaimana para kreditor mendapatkan hak-haknya atas harta debitor pailit. Dan siapa yang akan mengurusi pembagian harta debitor pailit kepada para kreditor berdasarkan hak-hak masing-masing. Terhadap persoalan ini, di Indonesia telah diatur bahwa yang berhak melakukan pengurusan dan pembagian harta debitor pailit kepada para kreditor adalah Balai Harta Peninggalan dan kurator .
Diputuskannya seorang debitor menjadi debitor pailit oleh Pengadilan Niaga membawa konsekuensi hukum, yaitu bagi debitor, ia dijatuhkan sita umum terhadap seluruh harta debitor pailit dan hilangnya kewenangan debitor pailit untuk menguasai dan mengurus harta pailitnya. Sementara itu bagi kreditor, ia akan mengalami ketidakpastian tentang hubungan hukum yang ada antara kreditor dengan debitor pailit (Nating, 2005: 57).
Untuk kepentingan tersebut, Undang-Undang Kepailitan menentukan pihak yang akan mengurusi persoalan debitor dan kreditor tersebut, yaitu kurator, yang akan melakukan pengurusan dan pemberesan atas harta pailit serta penyelesaian hubungan hukum antara debitor pailit dengan para kreditornya (Nating, 2005: 57).
Kemudian lebih lanjut dijelaskan bahwa jika debitor atau kreditor tidak mengajukan usul pengangkatan kurator lain kepada Pengadilan, maka Balai Harta Peninggalan yang akan diangkat selaku kurator (pasal 15 ayat (2) UUK 2004). Dalam hal ini kurator yang akan mengurus dan membereskan harta debitor pailit harus diangkat oleh Pengadilan atas permohonan debitor atau kreditor.
Sebelum ada Undang-Undang Kepailitan, dengan diucapkannya keputusan kepailitan oleh Pengadilan Negeri, maka si pailit telah kehilangan haknya untuk mengurus dan menguasai harta kekayaannya, walaupun dia masih menjadi pemilik harta kekayaan tersebut, pengurusan dan penguasaan atas harta kekayaan tersebut telah beralih pada Balai Harta Peninggalan (BHP) yang bertindak sebagai pengampu atau kurator atas harta pailit (pasal 13 ayat (1) PK), dan Balai Harta Peninggalan ditugaskan untuk melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit (pasal 67 ayat (1) PK) dan dalam melaksanakan tugas tersebut Balai Harta Peninggalan diawasi oleh Hakim Komisaris (pasal 63 PK) (Hartini, 2007: 144).
Sebelum lahirnya UUK Tahun 1998, yaitu menurut Peraturan Kepailitan, yang menjadi kurator adalah hanya Balai Harta Peninggalan , yang pada kenyataannya dalam menjalankan tugasnya, peran Balai Harta Peninggalan sangat kecil, maka peran dan fungsi balai harta Peninggalan pada UUK yang baru ini nyaris tidak ada. Karena menurut ketentuan dalam UUK ini, kurator ada dua macam yaitu Balai Harta Peninggalan dan kurator lainnya. Balai Harta Peninggalan baru bertindak selaku kurator apabila debitor atau pihak kreditor tidak mengajukan usul pengangkatan kurator kepada Pengadilan. Itu artinya balai Harta Peninggalan hanya dianggap sebagai kurator cadangan. Karena selama ini, Balai Harta Peninggalan dianggap kurang profesional karena tidak mempunyai tenaga-tenaga ahli yang memadai terutama ketika Balai Harta Peninggalan harus menjalankan perusahaan si pailit agar berjalan. Dan karena hal ini, tentunya debitor atau kreditor lebih suka memilih untuk mengajukan pengangkatan kurator lain ke Pengadilan untuk melaksanakan tugas-tugas pengurusan dan pemberesan atas harta pailit tersebut.
Dalam hukum Islam balai harta dikenal dengan istilah Baitul Mal . Baitul Mal berasal dari bahasa Arab ‘bait’ yang berarti rumah, dan ‘al mal’ yang berarti harta. Jadi secara etimologis Baitul Mal berarti rumah untuk mengumpulkan atau menyimpang harta. Secara terminologis Baitul Mal adalah suatu lembaga atau pihak yang mempunyai tugas khusus menangani segala harta umat baik berupa pendapatan maupun pengeluaran negara (Dahlan (b), 1996).
Fungsi dan eksistensi Baitul Mal sesungguhnya sudah ada sejak masa Rasulullah SAW maupun pada masa kekhalifahan setelah Beliau wafat. Namun secara kongkrit pelembagaan Baitul Mal baru dilakukan pada masa Umar bin Khattab, ketika kebijakan pendistribusian dana yang terkumpul mengalami perubahan. Pada masa Rasulullah SAW hingga kepemimpinan abu Bakar, pengumpulan dana pendistribusian dana zakat serta pungutan-pungutan lainnya dilakukan secara serentak, sehingga para petugas Baitul Mal selesai melaksanakan tugasnya tidak membawa sisa dana untuk disimpan. Sedangkan pada masa Umar bin Khattab, pengumpulan dana ternyata begitu besar sehingga diambil keputusan untuk menyimpan untuk keperluan darurat. Dengan keputusan tersebut, maka Baitul Mal secara resmi dilembagakan, dengan maksud awal untuk pengelolaan dana tersebut.
Berangkat dari latar belakang tersebut di atas, maka penulis ingin menyajikan suatu karya ilmiah yang membahas mengenai Balai Harta Peninggalan sebagai pengampu kepailitan, yang dalam hal ini penulis melakukan observasi pada Balai Harta Peninggalan Semarang.
Wise Word
15 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan berikan komentar anda